“Dalam era kebebasan sekarang, tidak mudah mengajak anak-anak mudah, taruhlah mereka yang lahir tahun 1980-an dan sesudahnya, untuk membayangkan bagaimana represifnya zaman Orde baru Soeharto.”
Di ranah politik mungkin sudah banyak didengar bagaimana suatu kelompok atau elemen dibasmi, dibunuh, dipenjarakan, ditutup pintu untuk mencari nafkah dan seterusnya.
Suasana sehari-hari pengap, mencekam, banyak teror, kebebasan tidak ada. Jangan coba-coba memperluas koridor kebebasan, misalnya, dengan gerakan buruh, seperti marak sekarang, akan dituduh komunis dan matilah seketika. Atau, menggunakan agama sebagai alat perjuangan. Jarang yang melakukannnya waktu itu. Selain agama memang tidak selayaknya dijadikan kendaraan politik, implikasi jangka panjangnya juga runyam. Bisa membibitkan radikalisme.
Satu-satunya wilayah agak aman adalah kesenian. Pasti disadari oleh penguasa waktu itu, untuk menyalurkan aspirasi kebebasan dilokalisir saja pada kesenian. Apalahi karena peristiwa berdarah tahun 1965, sudah tersaring individu-individu seniman berikut paham dan alirannya. Sederhananya: realisme sosialis yang berbau komunis telah masuk kotak.
Di tengah konteks politik itulah Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki atau TIM, diresmikan Gubernur Jakarta saat itu Ali Sadikin, pada 10 November 1968.
TIM memulai zaman baru kesenian modern Indonesia. Muncullah nama-nama besar seperti Rendra, Arifin C Noer, Teguh Karya untuk teater, Huriah Adam, Bagong Kussudiarja untuk tari, farida Oetojo untuk balet, Slamet Abdul Syukur untuk musik kontemporer, Affandi, Rusli, sampai lahirnya gerakan seni baru untuk seni rupa, dan deretan panjang yang tak bisa disampaikan disini. Ingat pula, Abdurrahman Wahid pernah menjadi ketua DKJ pada periode awal 1980-an.
Ketegangan hubungan antara penguasa dan seniman bukan tidak ada. Pembacaan puisi oleh Rendra di Teater Terbuka Tim tahun 1978 diteror oleh pelemparan bom amonia. Suasana kacau. Pelukis Hardi, yang kemudian hari dikenal sebagai salah satu dari lingkaran 18 Persatuan Gerak Badan Bangau Putih, meloncat naik panggung. Dia melarikan Rendra ke Balai Budaya. Setelah suasana agak aman, ia mengajak Rendra mengungsi ke rumah pengacara kondang, Adnan Buyung Nasution. Semua tempat yang disebut itu berada di bilangan Menteng.
Waktu bergerak, TIM mulai surut. Pusat-pusat kesenian lain, termasuk lembaga kebudayaan asing, bermunculan di Jakarta. Kepengurusan TIM oleh birokrasi pemerintah DKI Jakarta tak mampu lagi mengimbangi perkembangan zaman.
Terlebih di zaman konsumsi ini, yang apa-apa dihitung dengan uang dan besaran pengikut alias crowd. Tak ada lagi tempat bagi individualisasi, termasuk pusat kesenian, sebagai wahana bagi kemungkinan lahirnya karya-karya seni yang memberikan terobosan.
Tanpa itu, kota besar adalah sahara tanpa oase.
0 Comment:
Posting Komentar