MENTARI AS-SHAFA
Sudah tiga bulan
aku berada di sini. Di tempat baruku di antara hiruk pikuk kota Bali
yang tak pernah sepi. Aku sudah punya beberapa teman di sini, mereka itu tak
kalah gokil dengan Davin atau teman-temanku di kotaku dulu. aku juga sudah bisa
beradaptasi dengan lingkungan di sekitarku. Aku mendapatkannya, sekolah yang baik, teman yang baik, dan
hari-hari yang baik juga. Terlepas dari itu, aku sungguh teramat sangat sibuk
dengan rutinitasku di sini.
Dan satu lagi, aku teramat sangat rindu dengan
kebahagiaan yang aku tinggalkan di sudut kota sana, aku rindu sahabatku,
terlebih kepada cintaku. Dan besok lusa, awal liburan akhir semesterku, dengan
berbekal izin dari ayah dan bundaku, aku memutuskan untuk pulang ke sana. Ke
tempat aku manyimpan hatiku.
Sengaja aku tak mengabari Kak Distan ataupun Davin,
karena aku ingin memberikan kejutan kepada mereka. Dan hari ini pun tiba.
Pesawat yang kutumpangi telah lepas landas.
“Aku datang lagi, Yogyakarta…” Batinku dalam hati.
Sekarang tibalah aku di sini, di sebuah toko cokelat
tempat kala dulu mempertemukanku dengan Kak Distan. Aku memutuskan untuk
menyambangi terlebih dahulu tempat ini sebelum aku sampai di rumahku. Sedang
asik memilah-milah batang cokelat yang akan aku beli, dari seberang rak ekor
mataku menangkap bayangan sesosok orang yang sangat aku kenali. Yah, sosok itu
adalah alasanku kembali ke sini. Aku berbinar, ternyata dia baik selama aku tak
ada. Dengan perasaan berbunga-bunga aku berjalan menghampirinya.
Dan langkahku terhenti, bagai dipakukan ke lantai…
Aku melihatnya bersama sosok perempuan, mereka begitu akrab. Berjalan begitu
serasi. Dan apa yang aku lihat, Kak Distan menggandeng tangan perempuan yang
tak kalah cantik denganku. Mereka lalu melenggang meninggalkan tempat ini.
Hatiku teriris, sungguh panas meradang, neraka macam
apa ini? mungkinkah Kak Distan begitu tega menduakanku? apa dia berani
melanggar ikrarnya menjaga hatinya untukku? sungguh, lututku lemas. Badanku
bergetar hebat, aku begitu sakit hati. Aku tak menyangka, kembali ke sini hanya
untuk menyaksikan kekasihku menggandeng tangan wanita lain. Aku berlari
meninggalkan batang-batang cokelatku di meja kasir. Sekarang yang ingin aku
lakukan hanya menangis, aku tak mampu membendungnya lagi. Hati ini begitu
sakit, sakit yang paling sakit yang pernah aku rasa. Aku masuk ke dalam taksi
yang sedari tadi menungguku, dan meminta supir untuk segera berlalu menuju
rumahku.
Rumah ini, ternyata masih sama seperti sedia kala.
Masih tetap indah dan terawat. Aku menggenggam daun pintu rumahku, kemudian
membukanya. Dengan perasaan berkecamuk berjalan mengelilingi rumah ini. Mataku
menyapu seisi ruangan. Semuanya tidak ada yang berubah. Tapi aku lelah, aku
ingin beristirahat di kamarku. Saat menaiki tangga, terdengar suara nyaring
memanggil namaku. Kemudian aku berbalik mencari sumber suara. Di depan pintu,
aku melihat sosok itu berdiri dengan seribu ketekejutannya. Yakin bahwa itu adalah
sosoknya, akupun berlari dan berhambur memeluknya.
“Sumpret ble, gue kangen banget sama lu. Kok ga
ngasih kabar mau datang?” ucap Davin sumringah.
“Gue apa lagi, kangen banget sama elu Dav. Lu nggak
nakal kan waktu gue tinggal?” candaku pada Davin yang diresponnya dengan
mengerucutkan bibir, dia imut jika begitu. “Yaudah, lanjutin ngobrol di ruang
tengah yuk. Sekalian gue mau ngerasain pijitan dari lu. Hahaha…”
Kami tertawa terbahak-bahak, saling bercerita
pengalaman masing-masing selama kami berpisah. Setidaknya kehadiran Davin telah
sedikit menghapus kegundahan hatiku. Ingin rasanya aku berkeluh-kesah dengannya
atas peristiwa yang aku jumpai tadi. Namun sepertinya ini bukanlah waktu yang
tepat. Tidak terasa hari sudah berganti malam, yang semula terang kini pun
gelap. Sama seperti suasana hatiku. Malam ini aku dan Davin berencana akan
makan di luar, di tempat kita biasa nongkrong kala masih bersama. Tepat pukul
tujuh, Davin bersama motor besarnya itu sudah bertengger di muka rumahku. Aku
menghampiri dan duduk manis di boncengannya. Setelah acara makan-makan kita
selesai (dan sialnya aku yang harus membayar), akhirnya kita memutuskuan untuk
pergi ke pantai.
Setelah kurang lebih berjalan 30 menit, kamipun tiba
di sini. Pantai pasir putih yang tetap indah walau di kala malam hari. Kami
berjalan menyusuri bibir pantai, hingga sepakat singgah di atas sebuah karang
besar. Aku menarik nafas dalam-dalam kemudian mengeluarkannya lagi. Udara yang begitu menyejukkan, tempat yang
tepat untuk melupakan masalah walau tak
bertahan lama. Aku mendongak menatap lagit, hanya gelap tak ada bulan ataupun
bintang. Apakah malam juga merasa apa yang aku rasakan? apa dia turut berduka
atas duka yang menghantamku? tanpa terasa air mataku menitik. Walau
bagaimanapun juga aku hanyalah manusia biasa. Aku tak bisa menahan bongkahan
batu di dalam hatiku yang begitu menyesakkan. Aku bukanlah salah satu dari
banyak Insan pilihan Tuhan yang dikaruniai hati sekuat baja dan kesabaran
seluas samudera.
“Lo nangis, Tar?” tanya Davin menyelidik.
“Eng.. enggak dav, gue cuma klilipan pasir aja.
Sial, pedes banget nih mata.” Kilahku sambil mengusap kedua mataku.
“Lo nggak perlu bohong, gue itu tau lo. Gue bareng sama
lo ga cuma sehari dua hari. Jadi gue tau kalo lo itu lagi bohong. Cerita sama
gue, ada apa sampe lo nangis gini..”
Benar, Davin memang begitu mengenaliku, dia tau
jujur dan bohongku. Dan aku pikir ini waktu yang tepat untuk bercerita
dengannya.
“Gue… gue sedih, Dav. Hati gue sakit banget. Lu tau?
tadi gue liat Kak Distan di toko cokelat sama cewe lain. Mereka berdua
gandengan tangan. Itu bener-bener sakit banget. Gue nggak nyangka Kak Distan
ingkar sama janjinya sendiri, dia jahat, Dav… dia kejam banget.” Aku tak mampu
lagi membendung sesuatu yang memberontak keluar dari kelopak mataku. Aku
menangis, aku mengakuinya, aku cengeng.
Davin merelakan bahunya untuk menjadi sandaranku.
Dia memang sahabatku. Orang yang paling bisa mengerti aku.
“Lo yakin itu Distan? atau jangan-jangan lo salah
liat kali. Mata lo kan udah agak burem.” Canda Davin mencoba menenangkanku.
“Sial lo, gue yakin gue nggak salah liat. Yang tadi
itu bener Kak Distan.” Jawabku masih sambil terisak. Kemudian Davin mengubah
posisi duduknya. Dia mendekapku. Berusaha menghiburku dengan stok kekonyolannya
yang masih sama seperti kuingat dulu.
“Tapi, Tar… gue nggak yakin. Distan itu sayang
banget sama lo. Jadi nggak mungkin dia…” lama dia terdiam tak melanjutkan
perkataannya.
“Jadi Lo nggak percaya, Dav?”
“Gu… gu… gue percaya kok.” Ucap Davin terbata tanpa
melihat kearahku, matanya terpusat pada suatu tempat. Aku merasa penasaran,
sebenarnya apa yang dia lihat sampai mukanya terkejut begitu.
Kemudian aku menatap ke arah yang sama dengan ekor
mata Davin, dan… shit.. entah kebetulan atau disengaja. Bajingan itu ada di
sana dengan gadis barunya. Aku semakin sakit lagi…
“Sekarang lo percayan kan, Dav? gue nggak bohong
kan. Lo lihat sendiri kan?” ucapku datar tanpa daya dengan mataku yang masih
terkonsentrasi pada pemandangan jahanam itu.
Aku tak perlu susah payah membuat Davin percaya,
tatapan mata kami masih terpusat ke tempat itu. Tepat di bawah bias cahaya
lampu penerang, orang yang pernah berjanji padaku sedang mengecup kening
seorang perempuan. Kemudian… aku sungguh tak sanggup melihatnya. Dia mendekap
perempuan itu. Tangisku yang tadi sudah sempat terhenti, akhirnya pecah
kembali. Semakin sesak, semakin sakit. Aku melihatnya, sosok di sana, kekasihku
sedang mendekap hangat seorang perempuan, dan itu bukan aku.
Tuhan, ini terlalu sakit. Aku menangis, batinku
sungguh tersiksa. Kak Distan sungguh tak punya hati, dia begitu tega padaku.
Dia teramat sangat kejam menduakan ketulusanku. Karena geram, Davin bangkit dan
berlari menuju arah mereka. Aku tak sempat menarik lengannya, perasaanku
sungguh tidak enak sekarang. Tak ingin terjadi sesuatu hal yang tak diharapkan,
aku berlari menyusul Davin.
Dan benar saja, Davin meraih kerah Kak Distan
kemudian menyarangkan tinjunya tepat di rahang kirinya yang sukses membuatnya
tersungkur. Kepalanya membentur karang. Kemudian Davin menarik lagi sosok yang
tengah tersungkur itu dan kembali menyarangkan hantamannya di muka Kak Distan
secara bertubi-tubi.
“Davin, ada apa ini…” Kak Distan berteriak di sela
bogeman Davin. “Ta… Tari?” serunya yang lebih mirip sebuah rintihan. Darah
segar mengalir dari sudut bibir dan pelipisnya. Dia berusaha bangkit namun tak
kunjung berhasil.
Tanpa terduga, Davin menendang perut Kak Distan
hingga membuat mulut Kak Distan memuntahkan darah. Berkali-kali Davin melakukan
itu. Aku sungguh tak tega, Kak Distan mencoba bangkit berulang kali, namun
selalu terjatuh lagi. Aku kaku di tempatku, begitu juga dengan perempuan yang
telah merebut cintaku. Kini tubuhnya tergeletak lemah di atas pasir. Bajunya basah
akan darah, aku miris melihat itu. Tangisku pecah kembali. Davin benar-benar
keterlaluan. Tak seharusnya dia berbuat demikian. Aku bermaksud menghampiri
sosok Kak Distan yang tergolek lemah tak berdaya itu, namun Davin mencegahku
dan menyeretku ikut dengannya. Aku meronta berusaha melepaskan cengkramannya
yang begitu kuat di lenganku, namun
tenagaku tak cukup kuat untuk melawannya.
“Apa… apa yang terjadi disini? dimana kakakku?” kata
perempuan yang tadi bersama Kak Distan. Terlihat tangannya meraba-raba seperti
ingin menggapai sesuatu. Dia berjalan pelan tidak tentu arah, kemudian terjatuh
karena tersandung tubuh Kak Distan yang tergolek di atas pasir itu.
“Kak Distan, kakak dimana? Dilla takut. Kakak ayo
pulang. Nanti dicari mama. Kak… kakak…..” sambungnya lagi sambil merangkak dan
tangannya masih berusaha menggapai sesuatu.
Langkahku dan Davin terhenti, cengkraman Davin telah
melemah di lenganku. Apa mungkin, apa mungkin orang yang menyebut dirinya Dilla
adalah adik Kak Distan? Dan dia itu buta? Ya Tuhan, ternyata benar.
Berkali-kali ia tersungkur di atas pasir saat baru beberapa langkah berjalan.
Dan tangannya selalu bergerak seperti mencari sesuatu untuk digapai.
“Tar, jangan
pernah maafin gue kalo apa yang gue pikir memang bener…” ucap Davin lirih tanpa
ekspresi. Wajahnya datar, tubuhnya bergetar kemudian terjatuh bersimpuh di atas
pasir. Dia memegangi tangannya sendiri.Tubuhnya berguncang kencang. Tak perduli
dengan Davin, aku berlari ke arah Kak Distan yang masih terbaring tak berdaya.
Aku semakin bertambah terisak. Aku mendekap tubuhnya erat, dia begitu lemah.
“Ta… Tari…” ucapnya begitu sulit dan tersendat.
“Kakak… maaf… Tari minta maaf..” ujarku di sela
isakan yang kian menjadi.
“Kapan Tari pulang, kenapa nggak ngasih tau kakak?
dan dimana Dilla. Kakak akan mengenalkan Tari pada adik Kak Distan.” Lirih Kak
Distan masih dengan suara parau dan terbata. Aku semakin kencang mendekapnya.
Ternyata aku salah menilainya, aku telah berburuk sangka terhadapnya. Dia tak
pernah menduakanku, dia tak pernah ingkar dengan janjinya. Bodoh, bego, dasar
Tari Tolol. Rutukku dalam hati.
“Ka..kakak sayang Tari” kata-kata terakhir Kak
Distan sebelum tubuhnya melemah dan matanya tertutup.
“Kakak… kakak.!!! Kakaaaakk… kakak bangun, Tari juga
sayang kakak. Kak Distan bangun kak… Tari nggak bakal ninggalin Kak Distan
lagi.”
Aku berusaha membangunkannya, namun tidak ada
jawaban sama sekali darinya. Tubuhnya, bahkan jarinya tak sedikitpun bergerak.
Matanya tertutup. Darahnya masih terus mengalir dan menganak sungai. Aku begitu
terpuruk atas bencana ini, begitu juga aku lihat Davin dan Dilla. Tak jauh dari
ku, mereka juga bersimpuh sambil terisak. Kebodohan yang akan terus aku sesali.
Aku tak siap merasakan yang lebih sakit lagi dengan kehilangan kekasihku,
dengan kehilangan hatiku. Aku sungguh tak siap.
***
To be continued..
0 Comment:
Posting Komentar