Chrome Pointer

Selasa, 01 Desember 2015

AKU DAN TARI JILID XIII: “PENYESALAN TERBESAR TARI”


MENTARI AS-SHAFA

Sudah tiga bulan  aku berada di sini. Di tempat baruku di antara hiruk pikuk kota Bali yang tak pernah sepi. Aku sudah punya beberapa teman di sini, mereka itu tak kalah gokil dengan Davin atau teman-temanku di kotaku dulu. aku juga sudah bisa beradaptasi dengan lingkungan di sekitarku. Aku mendapatkannya,  sekolah yang baik, teman yang baik, dan hari-hari yang baik juga. Terlepas dari itu, aku sungguh teramat sangat sibuk dengan rutinitasku di sini.

Dan satu lagi, aku teramat sangat rindu dengan kebahagiaan yang aku tinggalkan di sudut kota sana, aku rindu sahabatku, terlebih kepada cintaku. Dan besok lusa, awal liburan akhir semesterku, dengan berbekal izin dari ayah dan bundaku, aku memutuskan untuk pulang ke sana. Ke tempat aku manyimpan hatiku.

Sengaja aku tak mengabari Kak Distan ataupun Davin, karena aku ingin memberikan kejutan kepada mereka. Dan hari ini pun tiba. Pesawat yang kutumpangi telah lepas landas.

“Aku datang lagi, Yogyakarta…” Batinku dalam hati.

Sekarang tibalah aku di sini, di sebuah toko cokelat tempat kala dulu mempertemukanku dengan Kak Distan. Aku memutuskan untuk menyambangi terlebih dahulu tempat ini sebelum aku sampai di rumahku. Sedang asik memilah-milah batang cokelat yang akan aku beli, dari seberang rak ekor mataku menangkap bayangan sesosok orang yang sangat aku kenali. Yah, sosok itu adalah alasanku kembali ke sini. Aku berbinar, ternyata dia baik selama aku tak ada. Dengan perasaan berbunga-bunga aku berjalan menghampirinya.

Dan langkahku terhenti, bagai dipakukan ke lantai… Aku melihatnya bersama sosok perempuan, mereka begitu akrab. Berjalan begitu serasi. Dan apa yang aku lihat, Kak Distan menggandeng tangan perempuan yang tak kalah cantik denganku. Mereka lalu melenggang meninggalkan tempat ini.

Hatiku teriris, sungguh panas meradang, neraka macam apa ini? mungkinkah Kak Distan begitu tega menduakanku? apa dia berani melanggar ikrarnya menjaga hatinya untukku? sungguh, lututku lemas. Badanku bergetar hebat, aku begitu sakit hati. Aku tak menyangka, kembali ke sini hanya untuk menyaksikan kekasihku menggandeng tangan wanita lain. Aku berlari meninggalkan batang-batang cokelatku di meja kasir. Sekarang yang ingin aku lakukan hanya menangis, aku tak mampu membendungnya lagi. Hati ini begitu sakit, sakit yang paling sakit yang pernah aku rasa. Aku masuk ke dalam taksi yang sedari tadi menungguku, dan meminta supir untuk segera berlalu menuju rumahku.

Rumah ini, ternyata masih sama seperti sedia kala. Masih tetap indah dan terawat. Aku menggenggam daun pintu rumahku, kemudian membukanya. Dengan perasaan berkecamuk berjalan mengelilingi rumah ini. Mataku menyapu seisi ruangan. Semuanya tidak ada yang berubah. Tapi aku lelah, aku ingin beristirahat di kamarku. Saat menaiki tangga, terdengar suara nyaring memanggil namaku. Kemudian aku berbalik mencari sumber suara. Di depan pintu, aku melihat sosok itu berdiri dengan seribu ketekejutannya. Yakin bahwa itu adalah sosoknya, akupun berlari dan berhambur memeluknya.

“Sumpret ble, gue kangen banget sama lu. Kok ga ngasih kabar mau datang?” ucap Davin sumringah.
“Gue apa lagi, kangen banget sama elu Dav. Lu nggak nakal kan waktu gue tinggal?” candaku pada Davin yang diresponnya dengan mengerucutkan bibir, dia imut jika begitu. “Yaudah, lanjutin ngobrol di ruang tengah yuk. Sekalian gue mau ngerasain pijitan dari lu. Hahaha…”

Kami tertawa terbahak-bahak, saling bercerita pengalaman masing-masing selama kami berpisah. Setidaknya kehadiran Davin telah sedikit menghapus kegundahan hatiku. Ingin rasanya aku berkeluh-kesah dengannya atas peristiwa yang aku jumpai tadi. Namun sepertinya ini bukanlah waktu yang tepat. Tidak terasa hari sudah berganti malam, yang semula terang kini pun gelap. Sama seperti suasana hatiku. Malam ini aku dan Davin berencana akan makan di luar, di tempat kita biasa nongkrong kala masih bersama. Tepat pukul tujuh, Davin bersama motor besarnya itu sudah bertengger di muka rumahku. Aku menghampiri dan duduk manis di boncengannya. Setelah acara makan-makan kita selesai (dan sialnya aku yang harus membayar), akhirnya kita memutuskuan untuk pergi ke pantai.

Setelah kurang lebih berjalan 30 menit, kamipun tiba di sini. Pantai pasir putih yang tetap indah walau di kala malam hari. Kami berjalan menyusuri bibir pantai, hingga sepakat singgah di atas sebuah karang besar. Aku menarik nafas dalam-dalam kemudian mengeluarkannya lagi.  Udara yang begitu menyejukkan, tempat yang tepat untuk melupakan masalah walau  tak bertahan lama. Aku mendongak menatap lagit, hanya gelap tak ada bulan ataupun bintang. Apakah malam juga merasa apa yang aku rasakan? apa dia turut berduka atas duka yang menghantamku? tanpa terasa air mataku menitik. Walau bagaimanapun juga aku hanyalah manusia biasa. Aku tak bisa menahan bongkahan batu di dalam hatiku yang begitu menyesakkan. Aku bukanlah salah satu dari banyak Insan pilihan Tuhan yang dikaruniai hati sekuat baja dan kesabaran seluas samudera.

“Lo nangis, Tar?” tanya Davin menyelidik.

“Eng.. enggak dav, gue cuma klilipan pasir aja. Sial, pedes banget nih mata.” Kilahku sambil mengusap kedua mataku.

“Lo nggak perlu bohong, gue itu tau lo. Gue bareng sama lo ga cuma sehari dua hari. Jadi gue tau kalo lo itu lagi bohong. Cerita sama gue, ada apa sampe lo nangis gini..”

Benar, Davin memang begitu mengenaliku, dia tau jujur dan bohongku. Dan aku pikir ini waktu yang tepat untuk bercerita dengannya.

“Gue… gue sedih, Dav. Hati gue sakit banget. Lu tau? tadi gue liat Kak Distan di toko cokelat sama cewe lain. Mereka berdua gandengan tangan. Itu bener-bener sakit banget. Gue nggak nyangka Kak Distan ingkar sama janjinya sendiri, dia jahat, Dav… dia kejam banget.” Aku tak mampu lagi membendung sesuatu yang memberontak keluar dari kelopak mataku. Aku menangis, aku mengakuinya, aku cengeng.

Davin merelakan bahunya untuk menjadi sandaranku. Dia memang sahabatku. Orang yang paling bisa mengerti aku.

“Lo yakin itu Distan? atau jangan-jangan lo salah liat kali. Mata lo kan udah agak burem.” Canda Davin mencoba menenangkanku.

“Sial lo, gue yakin gue nggak salah liat. Yang tadi itu bener Kak Distan.” Jawabku masih sambil terisak. Kemudian Davin mengubah posisi duduknya. Dia mendekapku. Berusaha menghiburku dengan stok kekonyolannya yang masih sama seperti kuingat dulu.

“Tapi, Tar… gue nggak yakin. Distan itu sayang banget sama lo. Jadi nggak mungkin dia…” lama dia terdiam tak melanjutkan perkataannya.

“Jadi Lo nggak percaya, Dav?”

“Gu… gu… gue percaya kok.” Ucap Davin terbata tanpa melihat kearahku, matanya terpusat pada suatu tempat. Aku merasa penasaran, sebenarnya apa yang dia lihat sampai mukanya terkejut begitu.

Kemudian aku menatap ke arah yang sama dengan ekor mata Davin, dan… shit.. entah kebetulan atau disengaja. Bajingan itu ada di sana dengan gadis barunya. Aku semakin sakit lagi…
“Sekarang lo percayan kan, Dav? gue nggak bohong kan. Lo lihat sendiri kan?” ucapku datar tanpa daya dengan mataku yang masih terkonsentrasi pada pemandangan jahanam itu.

Aku tak perlu susah payah membuat Davin percaya, tatapan mata kami masih terpusat ke tempat itu. Tepat di bawah bias cahaya lampu penerang, orang yang pernah berjanji padaku sedang mengecup kening seorang perempuan. Kemudian… aku sungguh tak sanggup melihatnya. Dia mendekap perempuan itu. Tangisku yang tadi sudah sempat terhenti, akhirnya pecah kembali. Semakin sesak, semakin sakit. Aku melihatnya, sosok di sana, kekasihku sedang mendekap hangat seorang perempuan, dan itu bukan aku.

Tuhan, ini terlalu sakit. Aku menangis, batinku sungguh tersiksa. Kak Distan sungguh tak punya hati, dia begitu tega padaku. Dia teramat sangat kejam menduakan ketulusanku. Karena geram, Davin bangkit dan berlari menuju arah mereka. Aku tak sempat menarik lengannya, perasaanku sungguh tidak enak sekarang. Tak ingin terjadi sesuatu hal yang tak diharapkan, aku berlari menyusul Davin.

Dan benar saja, Davin meraih kerah Kak Distan kemudian menyarangkan tinjunya tepat di rahang kirinya yang sukses membuatnya tersungkur. Kepalanya membentur karang. Kemudian Davin menarik lagi sosok yang tengah tersungkur itu dan kembali menyarangkan hantamannya di muka Kak Distan secara bertubi-tubi.

“Davin, ada apa ini…” Kak Distan berteriak di sela bogeman Davin. “Ta… Tari?” serunya yang lebih mirip sebuah rintihan. Darah segar mengalir dari sudut bibir dan pelipisnya. Dia berusaha bangkit namun tak kunjung berhasil.

Tanpa terduga, Davin menendang perut Kak Distan hingga membuat mulut Kak Distan memuntahkan darah. Berkali-kali Davin melakukan itu. Aku sungguh tak tega, Kak Distan mencoba bangkit berulang kali, namun selalu terjatuh lagi. Aku kaku di tempatku, begitu juga dengan perempuan yang telah merebut cintaku. Kini tubuhnya tergeletak lemah di atas pasir. Bajunya basah akan darah, aku miris melihat itu. Tangisku pecah kembali. Davin benar-benar keterlaluan. Tak seharusnya dia berbuat demikian. Aku bermaksud menghampiri sosok Kak Distan yang tergolek lemah tak berdaya itu, namun Davin mencegahku dan menyeretku ikut dengannya. Aku meronta berusaha melepaskan cengkramannya yang begitu kuat di lenganku,  namun tenagaku tak cukup kuat untuk melawannya.

“Apa… apa yang terjadi disini? dimana kakakku?” kata perempuan yang tadi bersama Kak Distan. Terlihat tangannya meraba-raba seperti ingin menggapai sesuatu. Dia berjalan pelan tidak tentu arah, kemudian terjatuh karena tersandung tubuh Kak Distan yang tergolek di atas pasir itu.

“Kak Distan, kakak dimana? Dilla takut. Kakak ayo pulang. Nanti dicari mama. Kak… kakak…..” sambungnya lagi sambil merangkak dan tangannya masih berusaha menggapai sesuatu.

Langkahku dan Davin terhenti, cengkraman Davin telah melemah di lenganku. Apa mungkin, apa mungkin orang yang menyebut dirinya Dilla adalah adik Kak Distan? Dan dia itu buta? Ya Tuhan, ternyata benar. Berkali-kali ia tersungkur di atas pasir saat baru beberapa langkah berjalan. Dan tangannya selalu bergerak seperti mencari sesuatu untuk digapai.

“Tar,  jangan pernah maafin gue kalo apa yang gue pikir memang bener…” ucap Davin lirih tanpa ekspresi. Wajahnya datar, tubuhnya bergetar kemudian terjatuh bersimpuh di atas pasir. Dia memegangi tangannya sendiri.Tubuhnya berguncang kencang. Tak perduli dengan Davin, aku berlari ke arah Kak Distan yang masih terbaring tak berdaya. Aku semakin bertambah terisak. Aku mendekap tubuhnya erat, dia begitu lemah.

“Ta… Tari…” ucapnya begitu sulit dan tersendat.

“Kakak… maaf… Tari minta maaf..” ujarku di sela isakan yang kian menjadi.

“Kapan Tari pulang, kenapa nggak ngasih tau kakak? dan dimana Dilla. Kakak akan mengenalkan Tari pada adik Kak Distan.” Lirih Kak Distan masih dengan suara parau dan terbata. Aku semakin kencang mendekapnya. Ternyata aku salah menilainya, aku telah berburuk sangka terhadapnya. Dia tak pernah menduakanku, dia tak pernah ingkar dengan janjinya. Bodoh, bego, dasar Tari Tolol. Rutukku dalam hati.

“Ka..kakak sayang Tari” kata-kata terakhir Kak Distan sebelum tubuhnya melemah dan matanya tertutup.

“Kakak… kakak.!!! Kakaaaakk… kakak bangun, Tari juga sayang kakak. Kak Distan bangun kak… Tari nggak bakal ninggalin Kak Distan lagi.”

Aku berusaha membangunkannya, namun tidak ada jawaban sama sekali darinya. Tubuhnya, bahkan jarinya tak sedikitpun bergerak. Matanya tertutup. Darahnya masih terus mengalir dan menganak sungai. Aku begitu terpuruk atas bencana ini, begitu juga aku lihat Davin dan Dilla. Tak jauh dari ku, mereka juga bersimpuh sambil terisak. Kebodohan yang akan terus aku sesali. Aku tak siap merasakan yang lebih sakit lagi dengan kehilangan kekasihku, dengan kehilangan hatiku. Aku sungguh tak siap.


***

To be continued..

0 Comment: