Chrome Pointer

Rabu, 02 Desember 2015

AKU DAN TARI JILID XIV: "MENUJU PARIS, PERANCIS"


ARI RAMDHANI

Rabu malam, 9 Oktober 2019

Singapura sudah gelap, yang nampak hanya cahaya lampu berpijar seperti jutaan kunang-kunang yang bertengger di gedung-gedung pencakar langit. Tak banyak yang bisa aku nikmati di Bandara Changi, meskipun luasnya memang hampir menyamai Desa Mandalare, tempat kelahiranku. Aku lelah setelah tujuh jam termangu-mangu di salah satu kursi pesawat SQ nan besar A380-800 yang dua tingkat itu. Meskipun makanan berlimpah dan senyum pramugari nan cantik tak pernah kering, perjalanan tujuh jam tetap saja menyisakan kelelahan.

Aku tercenung, duduk di sebuah bangku di dekat pintu B17, menunggu pintu dibuka. Semakin kubayangkan, semakin jelas rasa enggan datang. Perjalananku sebentar lagi tidak akan kurang dari 14 jam dari Singapura ke Paris. Tempat duduk kelas ekonomi di pesawat komersil yang konon paling besar di dunia dan dioperasikan oleh salah satu penerbangan terbaik di muka bumi tetap tidak akan bisa menghindarkanku dari lelah dan bosan. Perjalanan ini pastilah akan terasa lama.

Transit dua jam di Bandara Changi aku manfaatkan untuk mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk presentasi yang akan aku jalani di Paris esok hari. Meskipun sudah pernah tampil di pentas internasional untuk membawakan makalah, aku memang tidak pernah bisa tampil tanpa berlatih dan bersiap diri. Aku harus pastikan lagi dan lagi bahwa susunan slide-ku sudah seperti yang kuinginkan dan aku harus tahu persis urutan slides tersebut di luar kepala. Yang lebih penting lagi, aku harus memastikan bahwa aku bisa memaparkannya dengan tuntas dalam waktu yang diberikan.

Aku baru sadar bahwa colokan listrik di Singapura berbeda dengan di Indonesia, sementara baterai laptopku sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Dia harus selalu di-charge ketika digunakan karena baterainya sudah tidak bisa menyimpan energi listrik. Aku beringsut mencari toko elektronik di dalam bandara. Untunglah ada yang masih buka dan aku mendapatkan sebuah adaptor universal.

Aku terduduk lesu di sebuah pojokan dekat colokan listrik dan seperti orang tak waras berkomat kamit sendiri mencoba membiasakan diri dengan presentasiku. Sesekali tanganku bergerak-gerak, melatih gerakan yang pas ketika presentasi nanti. Mungkin ada satu dua orang yang memperhatikanku dengan pandangan sedikit bertanya-tanya. Sudahlah, mereka tidak tahu bahwa aku memang tidak sempat melatih presentasiku di Wollongong karena Indonesia Day ternyata menyita waktu dan energiku. Syukurlah acara charity untuk korban gempa dan kampanye batik ini berjalan dengan sukses di halaman University of Wollongong dua hari sebelumnya. Waktu yang kurang dari satu jam itupun aku gunakan untuk berlatih sampai hampir tiga kali. Aku harus benar-benar memastikan bahwa presentasiku lancar, lugas, menarik dan yang pasti tidak melebihi waktu yang ditetapkan. Aku paling tidak nyaman melihat seorang pemapar yang otaknya dipenuhi dengan ilmu berlebih sehingga meluber saat presentasi dan berbicara melebihi waktu yang disediakan.

Pernah seorang kawan berkomentar, apakah seorang aku masih perlu berlatih presentasi karena sepertinya sudah terbiasa. Kawan ini tidak paham rupanya. Kalau benar aku memang terlihat ‘terbiasa’ olehnya, justru itu terjadi karena aku berlatih dan terus belajar. Kelihaian presentasi tidak jatuh dari langit. Kadang ada saja yang memainkan logika terbalik seperti kawanku ini. Kawanku ini mungkin tidak akan percaya kalau sebelum presentasi aku bahkan merasa perlu gladi di depan Asti dan memintanya menilai kelemahannku. Sampai sekarang aku masih yakin, sehebat-hebatnya seseorang, berlatih dan berlajar tak pernah kehabisan ruangnya.

Di tengah keseriusanku dalam berlatih, tiba-tiba dari dalam tas kecilku keluar sebuah photo. Photo itu adalah Photoku bersama Tari, 7 tahun yang lalu.

Seketika aku termenung, aku langsung mengingat Tari. “Dimanakah kau sekarang Tari? Tahukah engkau, aku sudah berhasil lulus S1 di Universitas impianku itu Tari, aku juga sudah memiliki usaha restoran sendiri yang sekarang dikelola oleh orangtuaku, lalu aku juga sekarang sudah dalam perjalanan menuju University of Wollongong, ya aku mendapatkan beasiswa S2 disana, aku akan menjemput impianku disana.”

Hatiku remuk mengingt itu semua. “Tari, kakak kangen, kakak ingin bertemu, kakak mencari-carimu di Yogya dulu, tapi kakak tak kunjung menemukan dirimu, kakak kangen sama kamu Tari.”

Dalam hati, “Sudahlah ri, sekarang kau focus dengan presentasimu.” Aku kembali mengotak-ngatik slide presentasiku, aku berusaha fokus lagi dengan presentasiku.
Samar-samar aku melihat orang mulai bangkit dari tempat duduknya dan bergerak membentuk antrian. Rupanya pintu masuk pesawatku sudah dibuka. Akupun sudahi latihan itu dan segera berkemas.

Sejurus kemudian aku sudah terhimpit di jejelan antrian yang mengular. Rupangan banyak sekali yang ingin ke Paris, pikirku. Sesampai di depan X-Ray, aku bongkar tas punggungku, keluarkan laptop, buka ikat pinggang dan keluarkan kamera sarta HP. Jaket juga aku lepas untuk dilewatkan pada kotak X-Ray. Dunia memang telah dihantui oleh phobia. Meskipun pada papan di depanku bertuliskan ”Security for your safety”, tetap saja adalah sesuatu yang tidak nyaman harus membuka jaket dan melepas ikat pinggang hanya untuk masuk pesawat. Inilah buah tindakan segelintir umat manusia yang gemar bermain-main dengan rasa takut manusia lainnya. Akibatnya orang baik-baik sepertiku harus nyaris ditelanjangi dan bahkan kadang harus membuka sepatu hanya untuk masuk pesawat, itupun untuk layanan yang harus dibayar sangat mahal. Sudahlah, ini tak penting untuk diceritakan.


Sebentar kemudian akupun termangu-mangu di pesawat. Kantuk belum juga datang, mungkin karena aku juga dihinggapi perasaan was-was dan grogi. Sebentar lagi akan menginjakkan kaki di Paris, aku memang sangat excited! Film demi film aku tonton di media hiburan pribadi yang disediakan SQ, ternyata tak semuanya menarik. Kadang aku melamun, diam tidak melakukan apa-apa dan pikiranku melayang-layang kembali ke Wollongong.

***

To be continued..

0 Comment: