Senja telah datang. Masih begitu belia, sedangkan matahari yang mengantuk sudah rebah. Dan seperti senja-senja sebelumnya, lelaki itu kembali terseok-seok berjalan memasuki taman. Bergiliran dengan beberapa penyapu yang lain, lelaki itu mengajukan diri untuk bertugas kala senja. Katanya, dengan begitu, banyak sampah yang tersapu selagi anyar. Selagi belum basi hingga tak bisa dilepaskan. Selagi belum mengerak.
Minggu pagi merupakan saat sibuk pelari, juga saatnya orang-orang penghuni rumah-rumah mewah berjalan-jalan sembari menuntun anjing-anjing kesayangan mereka. Minggu siang, taman ini menjadi tempat anak-anak bermain dan pasangan-pasangan yang sedang mencari hati. Menyisakan ceceran sampah di sana sini. Senja saatnya sampah-sampah ini digiring untuk dikumpulkan, dan dipilah. Ah, ya, sampah kenangan. Terkadang kita pun juga harus memilah hal-hal yang bahkan sudah harus dibuang.
Sapunya mulai berjalan maju. Coba kita lihat, ada seberapa banyak sampah-sampah kenangan yang terbuang di taman hari ini. Ada sampah berbentuk bunga-bunga kecil yang indah. Sampah ini milik anak-anak yang berlarian sambil mengejar kupu-kupu di taman. Bunga-bunga kecil ini biasanya masih terlihat segar saat habis ditinggalkan oleh pemiliknya. Namun sudah layu mencokelat saat senja begini. Keceriaan dan kepolosan anak memang tak pernah bertahan lama seiring bertambahnya usia. Ada sampah yang dikerubuti semut-semut hitam kecil di bawah beberapa pohon dandi bawah beberapa bangku taman. Sampah manis seperti ini biasanya milik pasangan kekasih muda yang sedang gemar melempar rayuan gombal. Ketika sapu lidinya menyusur, semut-semut kecil itu pun buyar seketika. Sepertinya mereka harus mencari onggokan sampah kenangan manis lain lagi esok hari. Di beberapa tempat, terutama di pinggir-pinggir taman dekat dengan tanaman pagar hidup, ada sampah yang mirip dengan jarum-jarum. Besar kecil, tebal tipis. Semua berceceran di sepanjang tepi. Lelaki itu tahu, sampah itu merupakan milik pasangan-pasangan yang sedang bertengkar. Katanya, jika orang marah dan bertengkar, mereka akan saling mengeluarkan kata-kata serupa paku dan jarum dari mulutnya. Oh, jangan tanya seperti apa perihnya jika salah satu paku dan jarum itu menancap tepat di jantung. Rasa sakit itu yang terburuk.
Ada sampah berbentuk separuh hati. Tentu gampang ditebak. Sampah-sampah ini adalah sampah yang ditinggalkan oleh pemiliknya yang merindukan belahan jiwanya. Mereka biasanya datang ke taman ini untuk berdiam diri. Mereka enggan melepaskan kenangan yang berkerak itu. Ah, iya. Kenangan yang berkerak.
Lelaki itu hapal betul jenis sampah yang begini. Seberapa pun kuat ia menyapu, tak pernah bisa bersih. Sampah itu tetap tinggal. Hampir tak ada yang bisa ia lakukan karenanya. Namun lama kelamaan memang ada yang akhirnya memudar dengan sendirinya.
Lelaki itu tersenyum. Gerakan sapunya terlihat berhenti. Di dahinya terbit titik-titik kecil air yang diusapnya perlahan. Ia sendiri punya kenangan. Kenangan yang berkerak. Masih dalam hawa sejuk senja, ia memejamkan mata. Tiba-tiba datanglah pusaran angin yang menariknya dengan kuat. Menerbangkannya. Tinggi. Ia tersedot, terombang-ambing. Tapi ia tertawa. Berderai-derai. Kemudian terdengar alunan musik keroncong. Dan secara berangsur, terlihat sebuah panggung yang bermandikan cahaya. Kamera di sana sini. Lampu sorot menari. Suara selo bergantian dengan suara gitar. Flute mengalun, melayang-layang mengisi ruang melodi yang kosong. Ukulele mengeluarkan bunyi crong crong stagnan.Pun ditingkah suara biola. Lelaki itu melihat dirinya sendiri diatas panggung. Berbusana Jawa yang amat megah dengan tebaran hiasan benang emas. Berkain batik motif parang kusuma. Berblangkon dan membawa sebuah keris. Dari bibirnya yang bergincu merah, terdendang lagu merdu. Senyum dibibir lelaki itu semakin lebar ketika ia menangkap tatapannya sendiri pada perempuan pembetot kontrabas disudut panggung. Ah, ia ingat apa yang dipikirkannya saat itu. “Denganmu, aku ingin menua bersama.” Dan lalu lagi, pusaran angin menyedotnya. Ia memejamkan mata, menikmati hisapan kenangan yang mengerak. Sejurus kemudian, ia sudah kembali berdiri di taman. Helaan napasnya terdengar begitu panjang. Ada bisik keluh yang keluar dari mulutnya. Ia menarikan sapunya lagi, menggiring sampah kenangan ke tepian. Agar ada ruang bagi kenangan lain yang ingin mengisi. Seperti dirinya, dulu ada waktu ia berkilauan di atas panggung ibukota, disorot kamera, dipuji dan dipuja. Kemudian tiba masanya ia tersuruk dan lantak. Namun jangan salah, semua tersimpan rapi dalam keranjang sampah. Keranjang sampah yang begitu berharga, hingga ia tak tega sendiri untuk melepaskannya.
Hampir 3 bulan berlalu. Biar kenangan ada, di hati dan otaknya. Begitu pun sosok perempuan yang dicintainya. Meski sudah tak terhitung lamanya ia terpisah di dimensi waktu dan jarak.
Taman sebentar lagi sudah akan berganti pemakai. Malam, taman akan dikuasai oleh om-om nakal dan perempuan-perempuan kehausan. Esok pagi, akan berceceran sampah berupa mata-mata yang berkedip nakal. Ia merasa sedikit beruntung, pagi bukanlah gilirannya. Lelaki itu akhirnya selesai menyapu ceceran sampah kenangan di taman. Ia menyeret sapu lidi yang setinggi tubuhnya pergi. Senja makin turun, seiring kerlip bintang yang mulai berdatangan.
0 Comment:
Posting Komentar