Ketika Yuan resmi jadi mata uang dunia, Rupiah masih
tetap terpuruk, tak berdaya. Lebih hebat dari itu, bahwa apa yang tengah
menerpa dengan bangsa kita ini, sesungguhnya adalah gambaran riil dari tema
titik-balik impas. Bahkan, fenomenanya malah termasuk dalam kategori menuju
pailit. Mengapa demikian? Jawabannya: tinggal sedikit lagi kekayaan alam yang
Allah SWT titipkan di persada ini.
Kendatipun masih ada, sejak lama sudah digadaikan.
Kita memang tidak bisa serta-merta berlepas diri dari kerjasama dengan pihak
asing, sebab itu telah menjadi komitmen sejak lama. Tetapi tentu ada celah
negosiasi untuk dimungkinkannya hadir suasana win-win solution dalam kontrak
karya berjangka panjang itu. Political will yang patut dikemukakan adlah
meminta perhatian pihak mitra agar rela member tambahan nilai bagi hasil demi
penyesejahteraan masyarakat. Itu amat dimungkinkan, sebagai bentuk
kesalingmengertian dalam hubungan persahabatan.
Celakanya adalah, akan ada saja pihak-pihak yang
“berpartisipasi” sehingga maksud baik untuk porsi kesejahteraan khalayak kerap
‘tergunting’ oleh kekuatan kelompok kepentingan yang ikut melakukan terobosan.
Itu salah satu contoh. Begitupun dalam banyak hal
lainnya, agaknya memang dapat dibilang bangsa kita sendiri yang sebut saja
kurang pandai bersyukur, sehingga apa yang semestinya menjadi milik bangsa dan
bermanfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat tetapi diabaikan demi kemauan yang serba instan. Cari untung
cepat dan kepentingan sesaat, untuk kalangan yang terbatas. Padahal, kalaulah
digarap oleh tangan-tangan anak bangsa sendiri, tentunya kekayaan alam di laut,
darat, dan udara yang dimiliki negeri ini akan menjauhkan kita dari cerita
bakal kebangkrutan.
0 Comment:
Posting Komentar