ARI RAMDHANI
Aku ingin meratapi ketidakberuntunganku, meratapi
kepengecutanku selama ini yang telah mengakibatkan nelangsa hatiku. Sekarang,
ketika sudah terpisah ribuan mil jauhnya, aku baru menyadari bahwa aku
laki-laki tolol. Kini, aku hanya bisa terpekur sambil menatap hampa pada
layarku, membaca suratnya dalam keputusasaan.
‘Kami
akan melangsungkan pernikahan minggu depan…’
Dari begitu banyak deretan kalimat yang dituliskan
dalam suratnya kali ini, kalimat itulah yang paling meremukkanku. Lalu aku
menemukan kepedihan menderaku seiring kalimat-kalimat di bawahnya yang terbaca
begitu jelas, seakan kalimat itu ditulisnya dengan huruf besar dan ditebalkan
sekaligus digarisbawahi, seakan kalimat itu bukan kubaca tapi kudengar langsung
dari mulutnya. Padahal tidak.
Aku sungguh tak tahu, dari mana dia bias mengetahui
alamatku sekarang, padahal aku sedang berada di Paris, Perancis. Jauh ribuan
mil dari kotanya sekarang di Denpasar, Bali (Aku mengetahui kotanya dari surat
undangannya). Ah, mungkin saja dia menemui keluargaku di Indonesia, dan
menanyakan perihal tentangku.
‘Siapa
sangka, tak lama lagi aku akan berstatus sebagai seorang istri. Ny. Mentari
Ismantyo, namaku akan ditulis selaras dengan nama suamiku nanti. Wanita ini
siap menjDistani satu tingkat lagi dalam siklus hidupnya, Ri… berumah tangga…’
Ya, kau akan berumah tangga, Tari. Tapi bukan
denganku.
Tari, dialah gadis kepada siapa perasaanku bermuara,
gadis yang kuangan-angankan ribanya menjadi tumpuan kepalaku saat bermanja di
kamar pengantin suatu hari nanti, menjadi ibu dari anak-anakku kelak,
berpegangan tangan melewati hari-hari tua bersama. Selamanya itu hanya akan
jadi angan-angan saja, dalam waktu kurang dari dua minggu lagi, dia akan menjadi
milik orang lain. Perasaan yang kupendam bertahun lamanya hingga berkarang, tak
ada artinya kini. Aku kalah, pengecut tolol yang begitu bodohnya berpikir bahwa
gadis yang aku cintai masih mencintaiku. Aku salah, dia tak pernah benar-benar
menyadari, itulah mengapa sekarang hatinya dimiliki oleh laki-laki lain.
‘Distan
lelaki yang baik, Ayah bilang, aku akan bahagia bila menikah dengannya…’
Laki-laki pilihannya –mungkin juga pilihan orang
tuanya- bernama Distan, Distan Ismantyo. Tidakkah kamu juga akan bahagia bila
bersamaku, Tari? Hatiku menyeruakkan tanya, aku yakin bahwa aku bisa membuatnya
bahagia. Kusesali diriku yang tak ada di sana untuk membuktikannya. Membuktikan
bahwa aku bisa membuatnya bahagia, membuktikan langsung padanya juga pada orang
tuanya bahwa aku juga lelaki yang baik, bahkan lebih baik dari laki-laki
bernama Distan entah siapa itu.
Sesaat kemudian aku sadar statusku, apa yang bisa
dibuktikan oleh mahasiswa sepertiku? Apa jaminan kebahagiaan yang bisa
kutunjukkan pada mereka? Sedang Si Distan itu mungkin punya begitu banyak yang
bisa dipamerkan melebihi diriku. Ayahnya yakin dia akan bahagia bersama
laki-laki itu. Itu lebih dari cukup untuk Tari, orang tuanya merestui.
Salahku tak ada di sana.
Masih terpekur menatap layar. Andai bisa, aku ingin
kembali ke masa ketika aku masih berada di sana, akan kuabaikan peluang
mengejar pendidikan yang telah membuatku jauh darinya. Aku tidak akan
kemana-mana jika aku tahu bahwa akibat dari kepergianku itu akan membuatku
kehilangannya. Untuk pertama kalinya, aku menyesali keputusanku menerima
beasiswa melanjutkan pendidikan kemari. Niatku untuk menempati hatinya tentu
bisa kesampaian bila aku tetap bersamanya.
Aku ingin mengundur masa kembali pada saat-saat aku
dan dia tertawa bersama. Akan kuputar waktu kembali pada kebersamaan yang
pernah kulalui dengannya. Kebersamaan yang telah membuatku berpikir dia tahu.
Aku berpikir dia tahu ketika kami berlari bergandengan tangan dalam hujan saat
pulang sekolah, aku berpikir dia tahu ketika kami berkejaran di taman sambil
menjaring kupu-kupu, aku pikir dia tahu ketika kami berbaring beralas rumput sambil
menghitung bintang, aku pikir dia tahu ketika aku merangkulnya di pantai untuk
berphoto, aku pikir dia tahu.
Sekarang aku merutuki diriku yang tak pernah
memberi-tahukannya. Lagi, aku ingin kembali ke salah satu peristiwa itu dan
mengatakan kepadanya bahwa aku begitu mencintainya. Namun waktu tak bisa
diputar kembali.
Maka di sinilah aku sekarang, tidak di salah satu tempat
dimana seharusnya aku memberitahunya dulu, tetapi di dalam kamar sempit di
negeri yang terpisah jauh darinya. Aku mendapatkan beasiswa kuliah di Paris, Perancis.
Malam ini, menjadi mahasiswa yang kuliah bukan di negeri sendiri karena
beasiswa kuanggap sebagai satu kesalahan.
Berpikir bahwa seharusnya aku memberitahukan
perasaanku padanya sejak dulu, tak pelak membuatku kembali mengenang masa-masa
manis itu, masa-masa manis yang tercatat rapi dalam catatanku. Biarlah, mungkin
ini kali terakhir aku membiarkan diriku dimamah kenangan tentangnya. Setelah ini, Tari akan
benar-benar pergi, dariku dan dari kenanganku…
***
To be continued..
0 Comment:
Posting Komentar