Chrome Pointer

Kamis, 03 Desember 2015

AKU DAN TARI JILID XV: “UNDANGAN ISTIMEWA”


ARI RAMDHANI

Aku ingin meratapi ketidakberuntunganku, meratapi kepengecutanku selama ini yang telah mengakibatkan nelangsa hatiku. Sekarang, ketika sudah terpisah ribuan mil jauhnya, aku baru menyadari bahwa aku laki-laki tolol. Kini, aku hanya bisa terpekur sambil menatap hampa pada layarku, membaca suratnya dalam keputusasaan.

‘Kami akan melangsungkan pernikahan minggu depan…’

Dari begitu banyak deretan kalimat yang dituliskan dalam suratnya kali ini, kalimat itulah yang paling meremukkanku. Lalu aku menemukan kepedihan menderaku seiring kalimat-kalimat di bawahnya yang terbaca begitu jelas, seakan kalimat itu ditulisnya dengan huruf besar dan ditebalkan sekaligus digarisbawahi, seakan kalimat itu bukan kubaca tapi kudengar langsung dari mulutnya. Padahal tidak.

Aku sungguh tak tahu, dari mana dia bias mengetahui alamatku sekarang, padahal aku sedang berada di Paris, Perancis. Jauh ribuan mil dari kotanya sekarang di Denpasar, Bali (Aku mengetahui kotanya dari surat undangannya). Ah, mungkin saja dia menemui keluargaku di Indonesia, dan menanyakan perihal tentangku.

‘Siapa sangka, tak lama lagi aku akan berstatus sebagai seorang istri. Ny. Mentari Ismantyo, namaku akan ditulis selaras dengan nama suamiku nanti. Wanita ini siap menjDistani satu tingkat lagi dalam siklus hidupnya, Ri… berumah tangga…’

Ya, kau akan berumah tangga, Tari. Tapi bukan denganku.

Tari, dialah gadis kepada siapa perasaanku bermuara, gadis yang kuangan-angankan ribanya menjadi tumpuan kepalaku saat bermanja di kamar pengantin suatu hari nanti, menjadi ibu dari anak-anakku kelak, berpegangan tangan melewati hari-hari tua bersama. Selamanya itu hanya akan jadi angan-angan saja, dalam waktu kurang dari dua minggu lagi, dia akan menjadi milik orang lain. Perasaan yang kupendam bertahun lamanya hingga berkarang, tak ada artinya kini. Aku kalah, pengecut tolol yang begitu bodohnya berpikir bahwa gadis yang aku cintai masih mencintaiku. Aku salah, dia tak pernah benar-benar menyadari, itulah mengapa sekarang hatinya dimiliki oleh laki-laki lain.

‘Distan lelaki yang baik, Ayah bilang, aku akan bahagia bila menikah dengannya…’

Laki-laki pilihannya –mungkin juga pilihan orang tuanya- bernama Distan, Distan Ismantyo. Tidakkah kamu juga akan bahagia bila bersamaku, Tari? Hatiku menyeruakkan tanya, aku yakin bahwa aku bisa membuatnya bahagia. Kusesali diriku yang tak ada di sana untuk membuktikannya. Membuktikan bahwa aku bisa membuatnya bahagia, membuktikan langsung padanya juga pada orang tuanya bahwa aku juga lelaki yang baik, bahkan lebih baik dari laki-laki bernama Distan entah siapa itu.

Sesaat kemudian aku sadar statusku, apa yang bisa dibuktikan oleh mahasiswa sepertiku? Apa jaminan kebahagiaan yang bisa kutunjukkan pada mereka? Sedang Si Distan itu mungkin punya begitu banyak yang bisa dipamerkan melebihi diriku. Ayahnya yakin dia akan bahagia bersama laki-laki itu. Itu lebih dari cukup untuk Tari, orang tuanya merestui.

Salahku tak ada di sana.

Masih terpekur menatap layar. Andai bisa, aku ingin kembali ke masa ketika aku masih berada di sana, akan kuabaikan peluang mengejar pendidikan yang telah membuatku jauh darinya. Aku tidak akan kemana-mana jika aku tahu bahwa akibat dari kepergianku itu akan membuatku kehilangannya. Untuk pertama kalinya, aku menyesali keputusanku menerima beasiswa melanjutkan pendidikan kemari. Niatku untuk menempati hatinya tentu bisa kesampaian bila aku tetap bersamanya.

Aku ingin mengundur masa kembali pada saat-saat aku dan dia tertawa bersama. Akan kuputar waktu kembali pada kebersamaan yang pernah kulalui dengannya. Kebersamaan yang telah membuatku berpikir dia tahu. Aku berpikir dia tahu ketika kami berlari bergandengan tangan dalam hujan saat pulang sekolah, aku berpikir dia tahu ketika kami berkejaran di taman sambil menjaring kupu-kupu, aku pikir dia tahu ketika kami berbaring beralas rumput sambil menghitung bintang, aku pikir dia tahu ketika aku merangkulnya di pantai untuk berphoto, aku pikir dia tahu.

Sekarang aku merutuki diriku yang tak pernah memberi-tahukannya. Lagi, aku ingin kembali ke salah satu peristiwa itu dan mengatakan kepadanya bahwa aku begitu mencintainya. Namun waktu tak bisa diputar kembali.

Maka di sinilah aku sekarang, tidak di salah satu tempat dimana seharusnya aku memberitahunya dulu, tetapi di dalam kamar sempit di negeri yang terpisah jauh darinya. Aku mendapatkan beasiswa kuliah di Paris, Perancis. Malam ini, menjadi mahasiswa yang kuliah bukan di negeri sendiri karena beasiswa kuanggap sebagai satu kesalahan.

Berpikir bahwa seharusnya aku memberitahukan perasaanku padanya sejak dulu, tak pelak membuatku kembali mengenang masa-masa manis itu, masa-masa manis yang tercatat rapi dalam catatanku. Biarlah, mungkin ini kali terakhir aku membiarkan diriku dimamah kenangan  tentangnya. Setelah ini, Tari akan benar-benar pergi, dariku dan dari kenanganku…


***

To be continued..

0 Comment: