Chrome Pointer

Kamis, 17 Desember 2015

AKU DAN TARI JILID XIX: “MENGHITUNG BINTANG”


Hujan kian keras menerpa jendelaku. Tak ada bintang malam ini di langit Sydney, awan gelap menutupinya. Aku bisa melihat pekatnya langit lewat jendelaku yang tak bertirai. Jika tidak sedang hujan atau saat langit cerah, aku sering duduk di dekat jendela itu sambil melihat bintang-bintang.  Letak kamarku di lantai sebelas flat mahasiswa ini membuatku bisa jelas memandang langit, memandang bintangnya.
‘Masih suka menghitung bintang?’

Dalam satu surat, dia pernah menanyakanku akan hal yang sangat kusyukuri karena pernah kulalui satu kali dengannya dulu. Ya, tentu saja aku masih suka menghitung bintang, karena di saat menghitungnya aku bisa menghayalkan dia berbaring di sampingku sambil menunjuk langit.

Tetapi sekarang aku bertanya pada diriku, sanggupkah aku menghitung bintang lagi setelah ini? Pantaskah aku masih menghayalkan menghitung bintang bersamanya yang tidak lagi dalam jangkauanku? Aku akan jadi pendosa bila melakukan itu, tak lama lagi dia akan berstatus sebagai istri orang. Aku tak patut lagi menghayalkannya. Berdosakah aku bila mengingatnya untuk kali terakhir ini?

Ya Tuhan. Aku berada dalam kondisi seperti ini sudah 2 kali, dulu Tari. Tari meninggalkanku lalu menikah dengan oranglain. Orang yang aku ketahui bernama Distan itu sekarang tinggal di Amsterdam, bersama Tari dan anaknya. Ah, sudahlah.

***

“Sudah berapa yang kamu dapatkan?” dia memalingkan wajahnya padaku. Malam ini kami berada di taman yang sama tempat kami pernah dipermainkan kupu-kupu beberapa minggu lalu.

“Seratus tujuh puluh tujuh.”Jawabku jujur, aku memang sudah menghitung sebanyak itu. Tanganku masih menunjuk-nunjuk di udara sampai kudengar dia terbahak.

“Kamu sungguh-sungguh menghitungnya?”

Aku mengangguk, “Kamu tidak?” keningku berkerut.

“Ya Tuhan, Ri. Kamu terlalu serius, aku tidak benar-benar mengajakmu menghitung bintang.” Dia terus tertawa. “Dan kamu sudah menghitung sebanyak itu? Bagaimana kamu melakukannya? Mataku selalu tak fokus tiap kali aku berkedip, jadi aku tak mau repot-repot menghitungnya. Aneh, bagaimana matamu bisa menandai bintang yang sudah kamu hitung dengan yang belum masuk hitungan sedang mereka sama berkilaunya?” dia kembali tertawa.

Kamu juga sama berkilaunya seperti mereka.

Aku segera menurunkan tanganku, hatiku penuh tiap kali mendengarnya tertawa seperti ini. “Sayang sekali, padahal menghitung bintang itu pekerjaan yang mengasyikkan,” ujarku setelah tawanya mereda.
Dia memandangku, “Bagaimana kamu melakukannya?”

Aku tersenyum, lalu beringsut lebih dekat dengannya. “Tidak susah, kamu hanya perlu terus menghitung dalam hati sambil menunjuknya…”

“Bagaimana kita bisa yakin kalau kita tidak menunjuk bintang yang sama yang sudah kita hitung sebelumnya?”

“Maka jangan menunjuk bintang yang sama.”

“Bagaimana kita bisa yakin?” pertanyaannya masih bernada sama.

Aku meraih tangannya, memegang jarinya lalu mulai mengarahkan telunjuknya menunjuk langit. “Tunjuk dan hitung, begitu saja. Kamu bisa berkedip sesering yang kamu mau tapi tanganmu harus terus menunjuk dan hatimu tak boleh berhenti menghitung.”

“Bagaimana kita yakin tidak menghitung bintang yang sama?” dia kembali mengulang pertanyaannya, entah sudah berapa kali, tangannya masih dalam genggamanku.

“Hanya yakin saja…” jawabku.

Dia tersenyum kini. Kulepaskan genggamanku pada jarinya, Lani menghitung, sesekali matanya berkedip namun tangannya terus menunjuk. Aku menatap sisi wajahnya selama dia melakukan itu, ingin rasanya kudekatkan bibirku ke telinganya dan berbisik, Lani, aku cinta kamu…

***

0 Comment: