“Hari ini, 17 tahun yang lalu, genderang kalimat retorika bernama "REFORMASI" telah dikumandangkan. Seiring pergantian pemimpin, telah banyak sekali janji-janji politik yang kita dengar untuk melakukan perubahan, baik secara sistem maupun fungsional, tetapi perubahan yang dijanji-janjikan nyatanya diam ditempat. Saya mewakili jiwa muda lainnya, mengugat reformasi yang katanya sudah terjadi. Saya dan segenap pemikiran saya menilai bahwa, kini negara tercinta Negara Kesatuan Republik Indonesia, sedang berada dititik nadirnya. Titik kulminasi paling rendah sepanjang sejarah. Sadarkah kita semua?”
Termenung diriku saat membaca kalimat itu disalah satu koran harian berita nasional pagi ini. Pagi ini adalah pagi terakhirku disini. Tapi, aku merasa selama 3 hari disini aku belum mendapatkan apa-apa. Sesaat aku merenungi bacaan dikoran tadi. Benarkah demikian? Benarkah apa yang ditulis dikoran ini. Tapi, kembali lagi, aku hanya bisa merenung. Suasana seperti ini sebenarnya telah sering sekali ku alami. Suasana yang sangat menguras fikiran.
Pagi ini aku putuskan untuk bersantai-santai saja menikmati fasilitas hotel tempatku menginap ini. Fikirku, kapan lagi seorang anak desa sepertiku dapat menikmati fasilitas seperti ini. “Mumpung lagi seminar” ya, kata itulah yang menjadi penggerakku untuk menikmati hari terakhirku di hotel ini. Kata-kata dari teman terbaikku selama menjalani masa SMA yang kata orang sangat menakjubkan.
Sebenarnya aku sudah sangat sering mengikuti seminar seperti ini. Mulai dari seminar yang tingkat kabupaten sampai se-daerah Jabar aku pernah ikuti, dari yang aku ikuti sebagai duta sekolah sampai seminar yang sengaja aku ikuti sendiri juga aku pernah. Kata orang yang kurang suka pada tingkahku, aku itu mengikuti kegiatan seperti itu hanya untuk mengumpulkan banyak sertifikat. Aku tertawa kegelian saat mendengar mereka berkata seperti itu. Sungguh, tak pernah tersirat sedikitpun dibenakku bahwa hal itulah yang menjadi alasanku. Pada dasarnya sebagai generasi penerus bangsa aku hanya ingin memiliki kelebihan pengetahuan saja. Aku tidak mau dibodohi. Itu saja.
Pagi itu aku bersiap untuk mandi terlebih dahulu. Namun aku harus bergantian karena kamar mandinya hanya ada satu, dan aku dikamarku penghuninya ada 3 orang. Aku terpaksa harus menunggu. Sembari menunggu aku putuskan untuk menyetel televisi.
Meskipun televisi dihadapanku menyala, tetapi fikiranku tidak terfokus pada tayangan di televisi, tetapi aku malah fokus dengan imajinasiku sendiri. Aku sangat penasaran sekali dengar bacaan dikoran tadi.
Aku putuskan untuk mulai menguraikan pola fikirku kedalam bentuk point-point. Pertama, aku merasa negara ini belum mengalami reformasi seutuhnya. Lalu tiba-tiba aku merasa ada yang bergejolah dihatiku, seperti ada yang saling sahut menyahut. “Iya, iya!”, “benar, benar!” begitu kiranya bunyi yang kudengar. Aku semakin penasaran.
Aku jadi teringat kata-kata sahabatku tempo hari. Tempo hari dia yang tiba-tiba sangat penasaran terhadap pola fikirku menyerangku dengan berbagai pertanyaan. “Ri, kenapa negara kita sering sekali bikin yang namanya acara seminar? Emangnya itu penting? Emangnya bawa perubahan? Emangnya seminar itu bukan pemborosan?” sergap ia dengan pertanyaan yang bertubi-tubi menerjang mukaku.
“Tunggu, tunggu, maksudnya apa? Maksudnya seminar itu sia-sia? Itu salah! Seminar itu banyak manfaatnya, selain untuk proses pembelajaran juga bisa sebagai proses penyampaian informasi lebih lanjut kepada masyarakat.” Jawabku dengan nada sedikit menyentak
“Gak, itu salah, uang negara ini terkuras habis hanya untuk membuat acara yang sangat amat tidak bermutu itu. Menurutmu memang negara kita sudah mampu mengurusi anak jalanan, fakir miskin, pengemis dan gelandangan? Tidakkan? Jadi menurutku lebih baik uang yang tadinya untuk pemborosan itu digunakan untuk mengurusi yang lebih penting!” sahut dia dengan nada tidak kalah menyentak.
Saat itu aku langsung pergi. Aku tak ingin banyak bersitegang dengan sahabatku sendiri. Sangat tidak pantas rasanya jika persahabatan rusak hanya karena sebuah opini yang tak mampu diterima oleh salah satu pihak.
Dan kali ini menurutku, ucapan sahabatku tempo hari itu benar juga. Coba saja bayangkan, jika dalam satu kali seminar itu memerlukan waktu 3 hari 2 malam, sarapan 2 kali, makan siang 3 kali, makan malam 3 kali, belum lagi coffe break yang hampir setiap 2 jam sekali dilaksanakan. Itu pun belum termasuk insentif yang diberikan kepada para peserta seminar, andai 1 peserta mendapatkan Rp 30.000,- maka jika ada 100 peserta, biaya yang dikeluarkan adalah 3 jt.Penginapan 100 orang yang dibagi kedalam kamar-kamar dan masing-masing kamar terdiri dari 3 orang dan biayanya semalam adalah Rp 300.000,-. Maka biayanya mencapai hampir 10 jt. Jika ditotalkan semuanya, menurut perhitunganku dalam 1 kali penyelenggaraan seminar semacam ii membutuhkan dana ± 20 jt.
Coba saja bayangkan, dana sebesar itu dihamburkan hanya untuk sebuah sosialisasi, apa tidak terlalu tinggi? Apa itu efisien? Menurutku itu pemborosan.
Dana yang tadinya digunakan untuk melalukan seminar yang menelan biaya sebanyak itu akan lebih berguna jika digunakan untuk menangani masalah kemiskinan, anak jalanan, gelandangan dan pengemis.
Aku rasa aku harus meminta maaf kepada sahabatku itu. Bahkan aku harus berterima kasih pada dia karena secara tidak langsung dia telah membawa pemahaman yang sangat berarti terhadap pola fikirku.
Setelah ini aku yakin aku akan sangat bingung. Apakah aku akan ikut seminar disana-sini lagi atau tidak. Aku bingung. Seharusnya aku tidak mengikutinya, tapi tetap saja masih banyak orang yang masih mengikutinya bukan, karena aku hanyalah salah satunya.
“Ri, cepetan mandi, udah mau jam delapan tuh” ucap temanku mengejutkanku yang sedari tadi tenggelam dalam lamunan.
Akupun bergegas mandi dan setelah aku berpakaian rapih, aku kembali merenung didepan kamar. Sembari ditemani oleh hangatnya teh dipagi hari ini, aku kembali tenggelam dalam lamunanku.
Dalam lamunanku yang kedua ini, aku memposisikan diriku sebagai mahasiswa yang ikut menurunkan Presiden kedua kita Bapak Alm. Soeharto. Aku berusaha dengan keras untuk medalami peranku itu. Aku yakin, saat itu aku memiliki pemikiran yang sangat luas. Mengapa? Karena aku saat itu adalah seorang mahasiswa intelek. Aku menurunkan Soeharto pasti karena ada sebab-sebab yang sangat jelas.
“Heh ngelamun aja, mikirin apaan si?” bisik temanku didekat telingaku. Seketika aku terbangun dari lamunanku itu.
“Ah nggak ko, biasalah mikirin tugas sekolah” tungkasku penuh tanda tanya.
“Bohong ah, yasudah pergi dulu ya, ada janji sama anak kamar sebelah nih.” Jawab dia sambil melengos pergi.
Nafasku saat itu sebenarnya sangat tidak karuan. Aku melamun 2 kali dan 2 kali pula aku belum menyelesaikan lamunanku itu. “Ah, ada saja yang mengganggu” gerutuku dalam hati.
Aku tak memiliki banyak waktu lagi di hotel itu, ini hari terakhirku dan ini sudah jam 11 siang. Aku harus segera check out dari hotel ini.
Sembari pulang menyusuri lantai dan tangga hotel itu. Aku berkata-kata pelan sambil ku rekamnya melalui handphone-ku dan beginilah kira-kira ucapanku itu. Ucapanku itu aku tulis setibanya aku dirumah.
“Saya sebagai salah satu pemuda di negeri ini memang belum bisa memberi sesuatu yang berharga bagi bangsa ini. Namun, pada hakikatnya saya sangat mencintai negeri ini. Dari kecil seperti kebanyakan oranglainnya saya di Indonesia, saya minum airnya, saya makan makanannya, saya hirup udaranya, dan saya tidak akan pernah lupa untuk berterima kasih kepada negeri ini. Negeri yang pada dasarnya adalah negeri sangat hebat namun dipegang oleh orang-orang yang salah. Semoga perubahan itu akan segera tiba. Semoga. Sekarang di negeri ini bukan hanya pemerintahannya saja yang amburadul. Tapi juga sumber daya manusianya. Kini "kehormatan" sebagai seorang manusia sedang dipertanyakan. Mampukah kita menjawab semua pertanyaan yang akan dilontarkan oleh semesta? Berbagai macam pelanggaran yang terjadi dimasa sekarang sudah dianggap sebagai sebuah kelumrahan. Ini sesuatu yang bertolak belakang dengan kebudayaan luhur Bangsa Indonesia dimasa lampau. Pemakluman yang sangat aneh jika kita kembali membuka tabir sejarah akan kearifan dan penjunjungtinggian moral yang pernah nenek moyang kita pertahankan dulu. Disudut mayoritas dinegeri yang katanya "kaya" ini kebudayaan barat seakan telah mendarah daging. Disudut lain ada banyak sekali masyarakat yang belum merasakan nikmatnya sebuah kemerdekaan. Terutama diperbatasan pedalaman Indonesia. Sungguh ironi bukan? Pengamalan pancasila secara luhur kembali digugat. Bagaimana tidak? Pancasila sebagai salah satu daftar cita-cita luhur Bangsa Indonesia saja sudah tidak dianggap keberadaannya. Coba bayangkan, ketika kamu memiliki daftar keinginan, lalu kamu mengabaikan keinginan itu, apa yang akan terjadi? Ya, sudah sangat pasti bahwa, kamu tidak akan mencapainya, kamu memang akan mencapai hal lainnya, tapi itu semua dicapai tanpa arahan atau pedoman dan bermakna nihil apalagi jika kamu hanya jadi boneka oranglain yang siap melakukan apa saja untuk oranglain (negara lain), namun untuk keluarganya sendiri (masyarakat Indonesia), kamu tak mau melakukan hal seperti yang kamu lakukan kepada oranglain. Apakah itu bermanfaat?”
Setibanya dirumah aku berjanji pada diriku sendiri bahwa suatu hari nanti ketika nasib bangsa ini telah diserahkan kepada generasiku. Aku akan menjaga amanat yang telah diberikan bangsa ini kepada kegenarasiku nanti. Dalam bidang apapun aku berkecimpung nantinya. Aku berusaha. Aku berjanji.
"Diikutsertakan pada lomba cerpen POLTEKES KEMENKES BOGOR dalam rangka memperingati Hari Buku Nasional"
0 Comment:
Posting Komentar