Chrome Pointer

Jumat, 05 Juni 2015

AKU DAN TARI JILID I : "SEMUA ADALAH TITIPAN"


Penampilan, kadang menipu. Janji, kadang mengkhianati. Bulan, kadang pergi. Bintang, kadang tak hadir. Sahabat, kadang menghilang. Lalu? Apakah ada yang akan selalu sempurna? Pada kenyataannya, tak ada. Apakah ada yang selamanya menetap dan tak pernah pergi? Pada hakikatnya, tak ada.

“Adakah hal yang mengganggu fikiranmu kak? Sepertinya pikiranmu sedang terbagi-bagi. Ada masalah kak?” Tari memandangku nanar. Tak terlihat ada kehidupan dari kedua matanya. Rasanya seperti kehampaan sedang menelannya dalam pusaran yang sangat kuat. Ia terlihat sangat rapuh, seakan-akan api semangat dalam hidupnya tak lagi membara seperti yang biasanya.

“Tari, adakah hal yang mengganggumu sekarang?” Tari menggangguk, namun ia tetap saja tak kunjung berbicara.

“Maukah kamu bercerita?” Tari akhirnya bercerita banyak mengenai kehilangan yang baru saja ia rasakan. Ada sekian hal yang berubah dari perjalanan hidupnya. Setelah sekian lama ia memberikan kepercayaannya kepada orang yang selama ini bersamanya, pada akhirnya ia merasa itu sia-sia dan tak ada lagi artinya. Tari merasa Tuhan sudah berlaku tidak adil kepadanya. Karena di saat ia merasakan cintanya memuncak, Allah merenggut kehadiran orang yang ia cintai dengan kematian.

Setengah berteriak, Tari menghujaniku dengan pertanyaan. “Mengapa Tuhan tak berikan aku kesempatan untuk lebih lama bersamanya? Mengapa Tuhan membuatku merasakan kehilangan sedalam ini kak?”

Aku lihat kedua matanya yang mulai menghitam karena terlalu banyak menangis. Dan kujawab tanyanya perlahan. “Karena Tuhan menginginkanmu untuk belajar.”

“Apa yang harus aku pelajari dari kehilangan? Yang aku rasa hanyalah rasa sakit, tak lebih.”“Ada banyak hal yang bisa kamu pelajari dari kehilangan. Salah satunya adalah rasa syukur, karena bagaimana pun Allah tidaklah akan pernah berikan cobaan dan ujian seperti apa pun bentuknya, selain karena itulah salah satu bentuk kecintaannya untuk setiap hambanya.”

“Patutkah aku bersyukur di saat orang yang aku cintai Ia ambil kak?” Aku hanya bisa tersenyum ketika ia berbicara seperti itu. Apakah kehilangan seorang yang ia cintai jauh lebih penting dan berat dibandingkan kehilangan cinta dari Tuhannya? Tak sadarkah ia karena telah menuhankan cintanya sendiri?

“Sudahlah, bukan saatnya kamu menangisi kehilanganmu itu. Tidak akan pernah menjadi baik jika kamu harus terus menangisi orang yang sudah tiada. Aku ingin tunjukkanmu sesuatu jika kamu berkenan.”

Tari tidak langsung memberikanku jawaban. Sepertinya ia sedang menimbang mengenai apa yang seharusnya ia lakukan untuk menjawab ajakanku.

“Apa yang ingin kakak tunjukkan?” Tari mulai menghapus air mata yang sedari tadi mengalir deras dari kedua matanya.

“Ikuti saja kemana kakiku melangkah. Nanti kamu akan tahu sendiri apa yang ingin aku tunjukkan.”

Dan pada akhirnya aku membawa Tari untuk berkeliling di sekitar taman. Aku ajak dia berjalan bersama sembari memintanya memperhatikan segala sesuatu yang ia temui di sepanjang perjalanan kami.

“Kamu tahu Tari? Pada dasarnya, ada dua bentuk kehilangan.”

“Dua bentuk? Bagaimana kakak menjelaskan masing-masingnya? Aku masih belum begitu paham dengan apa yang kakak utarakan sekarang.”

“Iya, pada dasarnya ada dua bentuk kehilangan. Yang pertama, kehilangan yang memang kita rencanakan dan kita siapkan sebelumnya. Sementara yang kedua, kehilangan yang tidak pernah kita rencanakan atau kita siapkan sebelumnya. Dan pada saat ini, kamu tengah mengalami kehilangan yang kedua sepertinya.”

Tari memandangku dengan penuh tanda tanya. Mungkin dia masih belum bisa mengikuti jalan pikiranku.

“Coba berikan penjelasan yang lebih agar aku bisa lebih paham dengan maksudmu.”

“Santai saja, Tari. Kita masih punya banyak waktu bukan? Nanti akan Kakak jelaskan dan tunjukkan apa perbedaan dari keduanya.”

“Baiklah, aku masih akan menunggu.”

Di tengah perjalanan, kami melihat salah satu anak sedang terlihat murung, kami lalu menghampirinya dan sekaligus bertanya mengapa anak itu murung.

“Kenapa kamu murung, de?” tanya Tari

“Aku gak punya cukup uang buat beli mainan itu, Kak.”

“Memangnya berapa yang kamu butuh, sayang?”  Tari mengusap kepala anak itu dengan lembut.

“Cuma sepuluh ribu, Kak.” Jawab anak itu sembari menahan tangis.

“Ya sudah, kakak kasih kamu sepuluh ribu untuk beli mainannya. Tapi kamu harus janji ya, sayang.”

“Janji apa, Kak?”

“Mainannya harus dijaga ya, jangan sampai dibuang atau kamu rusak. Gimana?”

“Iya Kak Tanti, aku janji. Makasih ya Kak.”

Anak itu mengambil uang yang Tari berikan dan kembali berlari mengejar penjual mainan yang sudah berjalan agak jauh dari tempat kami berbicara dengan anak itu. Tari terlihat bahagia dan senang di saat bersamaan. Wajahnya berseri seakan ia sudah melakukan sesuatu yang membuat hatinya merasa sangat nyaman.

“Tari, kamu sadar gak? Pada hakikatnya kamu sudah kehilangan sesuatu baru saja.”

Tari terkejut. “Apa? Aku tidak sadar kalau aku kehilangan sesuatu.” Aku tersenyum melihat reaksinya.

“Ya, kamu sudah kehilangan uangmu bukan? Isi dompetmu jelas sudah berkurang sekarang kan. Anak itu sudah mengambil sedikit dari uangmu.” Giliran Tari sekarang yang tertawa mendengarku menjawab seperti itu.

“Aku tidak merasa kehilangan sedikit pun. Aku malah merasa sangat senang bisa berbagi, meskipun sedikit. Memang uangku berkurang, tapi aku tidak merasakan sedikit pun kehilangan.”

“Kenapa kamu merasa senang? Apakah kamu tidak takut? Bisa saja setelah ini kamu membutuhkan uang itu kan.”

“Uang yang aku punya adalah sebagian dari titipan yang Allah berikan untukku. Bagaimana pun, cepat atau lambat, uang itu akan habis juga. Kalau memang suatu saat nanti aku membutuhkan, dan jika memang itu rizki yang seharusnya menjadi milikku, uang itu akan kembali. Jadi aku tidak khawatir mengenai uang yang kuberikan itu.” Aku kembali tersenyum mendengar jawabannya. Ini akan menjadi lebih mudah untuk Tari pahami.

“Seperti itulah yang aku maksud dengan kehilangan yang pertama Tari, kehilangan yang kamu sudah persiapkan. Memang ada sesuatu yang menghilang darimu, tapi kamu tetap sekali pun tidak merasa kekurangan apa-apa, malah kehilangan yang kamu dapatkan itu justru membuatmu merasa senang dan malah bahagia.”

Tari mulai mengangguk mendengar penjelasanku, agaknya ia sudah mulai memahami maksudku. “Lalu, seperti apa bentuk kehilangan yang kedua?”

“Coba kita ubah kondisinya. Bagaimana kalau uang yang kamu punya sekarang semuanya ludes? Bukan karena kamu berikan atau hadiahkan itu untuk orang lain, seperti yang kamu lakukan kepada anak yang tadi. Tapi karena uang yang kamu punya, semua habis karena dicuri atau dompetmu diambil paksa oleh pencopet atau pencuri yang menghadang kamu? Reaksi kamu seperti apa? Apa kamu akan dengan mudah merelakan kehilangan yang kamu rasakan itu.”

“Astagfirullah, aku tidak sekali pun pernah terpikirkan seperti itu. Bagaimana reaksiku? Jelas aku akan kebingungan dan mungkin juga ketakutan. Uang yang ada di dompetku itu mungkin juga tak lagi bisa aku relakan sepenuhnya. Berbeda dengan kondisi yang sebelumnya ketika aku memberikan uangku karena sengaja, dengan maksud ingin memberi.” Tari hanya bisa menggelengkan kepalanya, tak pernah terpikirkan dalam bayangannya jika harus berada di posisi itu.

“Kenapa menjadi berbeda? Bukankah kondisinya tetaplah sama, Tari.”

“Sama? Apa yang membuatnya sama?”

“Mungkin memang bentuk kehilangannya berbeda. Kamu pun juga sadari itu. Di awal, kehilangan yang pertama tidaklah sedikit pun menjadikanmu khawatir, tapi di kondisi yang kedua, kamu mulai merasa tak siap dengan kehilangan yang kamu rasakan. Seperti jawabanmu sebelumnya, mungkin kamu akan kebingungan dan juga ketakutan setelahnya, kamu pun juga tidak sepenuhnya bisa rela dengan kehilangan yang seperti itu.” Tari menggangguk, mengiyakan apa yang aku mulai jelaskan kepadanya.

“Tapi satu hal yang tetap sama, Tari.” Sejenak aku menghela nafas sebelum melanjutkan jawabanku. “Dan kamu sepertinya mulai sedikit lupa dengan ucapanmu sendiri. Bukankah uang yang kamu punya adalah sebagian dari titipan yang Allah berikan untukmu. Bagaimana pun, cepat atau lambat, uang itu akan habis juga. Kalau memang suatu saat nanti kamu membutuhkan, dan jika memang itu rizki yang seharusnya menjadi milikmu, uang itu tentu akan kembali. Jadi kamu tidak akan sedikit pun khawatir mengenai uang yang tercuri atau lenyap itu.” Tari terkejut mendengarku mengulang kembali ucapannya sendiri. Terlihat Tari yang malu, mengakui kealfaannya.

“Sesungguhnya, jika kita menyadari bahwa segala sesuatu yang kita miliki adalah titipan dariNya, tak akan sedikit pun kita merasa khawatir dengan apa pun yang terjadi dengan titipan kita itu. Jika memang itu adalah rizki dan Allah siapkan itu untuk menjadi milik kita, tentu Allah akan berikan kita jalan untuk tetap bersamanya. Bukankah tidak ada seorang pun yang mampu menghalangi kehendaknya bukan?” Kedua mata Tari terlihat berkaca-kaca, ia seperti menahan tangis yang ingin menyeruak dari dalam.

“Tapi mengapa menjadi sulit bagiku untuk ikhlas dengan kehilangan yang aku rasakan sekarang?”

“Itu karena kamu menyimpan ‘titipan’-Nya di hatimu, bukan di tanganmu. Maka begitulah akhirnya, kamu akan merasa berat hingga menjadi begitu mendalam kehilangan yang kamu rasakan. Berbeda jika kamu menyimpan segala sesuatu yang berupa hal duniawi di tanganmu, seperti jodoh dan juga rizki, maka jika ia terlepas atau Allah ambil kembali ‘titipan’ yang diamanahkan kepadamu, kamu tidak akan merasa berat, justru bertambah kebahagiaan yang kamu rasakan. Seperti yang terjadi di saat kamu memberi sebagian rizkimu kepada mereka yang membutuhkan, kamu pun sudah merasakan kebahagiaan itu bukan?”

Dan pada akhirnya. Kita akhirnya tahu dan mulai belajar memahami. Penampilan, kadang menipu. Janji, kadang mengkhianati. Bulan, kadang pergi. Bintang, kadang tak hadir. Sahabat, kadang menghilang. Lalu? Apakah ada yang akan selalu sempurna? Pada kenyataannya, tak ada. Apakah ada yang selamanya menetap dan tak pernah pergi? Pada hakikatnya, tak ada. Semua hanyalah titipan.

0 Comment: