Petir
menyambar, kilatannya tampak jelas di jendela.Aku masih memegang bingkai ini.
Kupandangi jam di dinding, sudah jauh melewati tengah malam. Aku menyeka
mataku, semuanya berakhir saat ini. Waktu telah mengelabuiku, merabunkan
mata dan hatiku.Ya, aku telah ditipu oleh waktu.Betapa saat-saat yang kulalui
bersamanya dulu begitu meyakinkan, dan lihatlah kini, waktu telah mematahkan keyakinanku
dengan fakta yang begitu meyakinkan pula.‘Kami akan melangsungkan pernikahan
minggu depan…’ kalimat itu begitu pasti, begitu meyakinkan, sekaligus
menyakitkan.Waktu telah mempermainkanku.
Aku
mengerjap beberapa kali untuk mencegah mataku berkabut lagi. Kuhirup udara dalam-dalam, berusaha bernapas
dengan hidung yang seakan disumbati gabus. Aku membuka laci paling bawah di
sebelah kiri mejaku, kutatap sesaat pada benda yang menjadi satu-satunya isi
laci paling bawah itu. Buku tebal bersampul hitam, catatanku, diary-ku yang
tiap lembarnya hanya memuat satu nama saja, Lani. Semua cerita tentangnya
tertulis di sini, segala rasa yang kupunya sejak pertama kali perhatianku
tersita oleh sosoknya di tahun pertama ketika di kampus dulu, hingga perasanku
selama jauh darinya terjabarkan dalam buku ini. Mulai besok, aku tak akan lagi
menulis apapun tentang Lani di dalamnya, kisahnya bukan lagi milikku.
Kukeluarkan
diary itu dari ruang yang sudah dihuninya hampir lima tahun ini. Aku
menyatukannya bersama bingkai yang juga sudah hampir lima tahun tak pernah
berpindah dari mejaku. Kutatap kedua benda itu dengan perasaan kosong. Kemudian
aku berjalan menuju jendela. Hujan langsung menerpa wajahku begitu kacanya
kugeser.
Maafkan
pecundang ini, Lani…
Kembali
kutatap kedua benda di tanganku. Ketika petir sekali lagi berkiblat terang dan
angin dingin menerpa wajahku, dengan hati perih, aku melempar bukuku pada hujan
di luar sana.
***
0 Comment:
Posting Komentar