Chrome Pointer

Sabtu, 19 Desember 2015

AKU DAN TARI JILID XXI: “PESTA DUA PULUH LANI”


Aku tak berkedip memandangnya yang tampak berbeda dalam balutan gaun putih itu, dia lebih cantik dari yang biasa kulihat. Malam ini dia merayakan hari jadinya yang ke dua puluh. Pesta sederhana, dia bukan puteri konglongmerat yang kebanyakan selalu berpesta pora tiap kali merayakan hari penting mereka. Lani tidak seperti itu, orang tuanya bukan pengusaha atau bos besar, ayahnya hanya seorang pegawai kantor pos sementara ibunya mengajar di sebuah kampus dasar. Hidupnya bersahaja, hal lain yang aku kagumi darinya. Tentu kekagumanku ini datang setelah aku ditinggalkan Tari, karena sebelumnya aku tak pernah mau membuka hatiku untuk oranglain, kecuali Tari.

Di depan kue tart tak begitu besar dimana lilin angka dua puluh bertengger di atasnya, dia berdiri dengan senyum yang tak putus, ayah dan ibunya mengapit di kiri dan kanannya. Orang-orang di sekelilingnya memberi selamat, mendoakan umur dan kesejahteraannya dalam koor yang menggemuruh.Lani memanjatkan doanya sebelum memadamkan lilin, aku berharap dia menyebut sekali saja namaku dalam doanya itu. Lalu, penuh sayang dia memeluk dan mencium ayah dan ibunya, kemudian teman-temannya.

Kutatap kotak kecil di tanganku, kado hari jadi untuknya yang kupersiapkan dengan perasaan suka cita. Aku berjalan menujunya, tiap langkah yang kubuat kian menambah debar dadaku. Semua rencana yang telah kupikirkan, deretan kalimat yang sudah kulatih sejak dari rumah mendadak buyar seiring langkahku yang makin hampir. Aku disaput ragu, tidak hanya ragu, aku takut. Dia tersenyum ketika aku sudah berdiri tegak di depannya, terpisah satu langkah saja.

“Selamat ulang tuhan, Lani… semoga panjang umur…” Ucapan selamat yang sangat biasa. Bukan kalimat yang kupersiapkan.

Dia mengangguk, kembali tersenyum saat aku meletakkan kotakku di tangannya. “Trims, Ri… aku pasti akan menyukainya.”

Bibirku bergerak-gerak, rasanya kalimat itu sudah di ujung lidah, siap melesat keluar. Lani diam menatapku, menunggu. Dia seakan tahu bahwa masih ada kalimatku yang belum tersampaikan.

“Ri…” aku diam terlalu lama. “Kamu baik-baik saja?” Lani menatapku dengan alis bertaut.

“Yah, aku baik-baik.” Kuseka pelipisku yang mendadak berkeringat, “Maaf, sepertinya aku harus ke toilet.”
Aku memisahkan diri dari kerumunan di sekitar kue tart, bukan ke toilet, tapi menepi ke sudut ruang. Dari sini mataku mengikuti setiap geraknya. Sesaat tadi, aku hampir yakin bisa mengutarakannya, tapi ternyata tidak.

Kuteguk minumku, mataku masih mengawasinya.“Lani, aku mencintaimu…” bisikku yang hanya bisa kudengar sendiri.

***

0 Comment: