Sepertinya aku menangis.
Aku mengerjap, ada basah jernih yang merembes dari kedua mataku, mengalir di wajah untuk selanjutnya luruh jatuh ke pangkuan. Ya, aku menangis, Dengan mata mengabut, kualihkan pandanganku pada bingkai kecil yang memuat aku dan dia, bingkai kecil yang tak pernah berpindah letaknya dari dulu, tetap di posisi paling atas mejaku, posisi yang mudah dan bisa langsung kulihat. Di sana, aku dan dia tersenyum berlatarkan laut biru dan langit bersih Pulau Dewata. Kujangkau bingkai itu dan kugenggam dengan kedua tanganku.
‘Kalian berdua benar-benar pas, mengapa tidak pacaran saja?’
Masih kuingat ketika Dwimas seorang kawan yang memotret kami berkata demikian, aku tersipu ketika itu, sementara Lani tertawa sambil menahan rambutnya dari tiupan angin Pantai Kuta.
Kususurkan jariku di atas kaca, bergerak perlahan di wajahnya yang tersenyum lepas dalam rangkulanku. Mataku kian basah, kalung hati yang kuberikan sebagai hadiah hari jadinya yang ke dua puluh menggantung indah di lehernya. Kampusku berlibur ke Kuta Bali seminggu setelah aku memberinya kalung itu, juga tepat seminggu sebelum kami benar-benar menamatkan kampus S1. Aku mengenang bagaimana suka citanya diriku saat memasukkan bingkai ini ke koperku hampir lima tahun lalu. Kupilih foto ini karena kalung hati di lehernya.Tuhan, bodohnya aku yang berfikir kalau dia adalah milikku hanya karena dia selalu memakai kalung itu sejak kuberikan.Bodohnya aku hingga merasa tak perlu mengungkapkan rasa.
Aku mendongak, mencoba membendung air mataku sekaligus membebaskan napasku. Melepaskan cinta yang sudah menjadi milik kita adalah berat, tetapi melepaskan cinta yang kita pikir bahwa kita memilikinya, padahal tidak sama sekali… itu perih.
Kembali kutatap bingkai yang masih erat di tanganku. Kuperhatikan sosok kami lebih lekat. Mulai dari buih yang memutih di kaki kami, celanaku yang basah dan kain tipis bergambar bunga-bunga miliknya yang ditiup angin, lenganku di pinggangnya dan kedua lengannya yang mengganyut di bahuku, pada kalung hati itu, lalu pada senyum lepas di wajah kami berdua. Hamparan laut biru dan langit bersih di belakang kami yang selama ini kuyakini sebagai saksi kebahagiaanku, sekarang seperti mengejekku. Mengejek seorang pecundang. Aku ingin kembali ke sana, meneriakkan pada laut biru dan langit bersih di atasnya jika aku adalah pecundang. Aku memang pecundang. Buih putih itu sekarang seperti menertawakanku.
‘Sudah tiga tahun sejak aku mendapatkannya, aku masih menyukai kalung hatimu, Ri. Jika kamu di sini, kado apa yang hendak kau berikan di hari jadiku yang ke-23 ini?’
Air mataku merembes lagi, kalimat penutup dalam suratnya yang aku terima tepat di malam usianya genap dua puluh tiga tahun kembali melintas di kepalaku. Seharusnya aku tidak membalas surat itu dengan gurauan tak penting. Seharusnya aku menulis bahwa aku akan memberikan hatiku, seharusnya aku menuliskan kalimat yang sudah berada di ujung lidahku malam itu.
‘Aku masih menyukai kalung hatimu, Ri…’
Apakah aku salah telah meresponnya tak serius dalam surat balasanku? Dia masih menyukai kalung hatiku.Ya Tuhan, tidakkah kalimatnya menyiratkan bahwa dia masih menantiku hingga hari dia menuliskan suratnya itu? Aku buta, dan dungu. Seharusnya aku menyadarinya dan membalas suratnya dengan satu kalimat serius: aku akan memberimu kalung hati baru yang di dalamnya tertulis nama kita berdua. Kini sudah terlewat.
Kutatap lagi kalung hati itu, seharusnya dulu aku tak perlu ragu berucap ketika meletakkan kadoku dalam tangannya…
***
0 Comment:
Posting Komentar