Chrome Pointer

Selasa, 15 Desember 2015

AKU DAN TARI JILID XVII: “HUJAN KALA ITU”


“Ri, mau menunggu hingga gelap ya?”

Aku mengalihkan pandanganku dari menatap curahan hujan yang semakin membuat halaman kampus tergenang, ke sosok yang berdiri sambil memeluk dada di sampingku. Bahkan jaket yang kupakaikan padanya beberapa saat setelah hujan turun tak sanggup menyelamatkannya dari kedinginan. Lani sedikit menggigil, seharusnya aku punya jaket yang lebih tebal dari itu.

“Hujannya terlalu deras, bisa sakit kalau nekat pulang sekarang. Tunggu sebentar lagi sampai agak reda.” Jawabku lalu kembali memperhatikan genangan air di pekarangan kampus yang kian melebar.
“Sudah mulai sepi, gak ada tanda-tanda hujannya akan segera reda nih,” sahutnya.

Aku memandang berkeliling, dia benar, tidak banyak lagi siswa yang bertahan menunggu hujan reda, hanya tinggal beberapa saja. Aku yakin mereka pergi ke kampus menggunakan angkot, sama seperti aku dan Lani, jika punya kendaraan pasti sudah sejak tadi mereka menerobos hujan tak peduli betapun derasnya.
“Tunggu beberapa menit lagi, ya!” Aku mencoba menyabarkannya. Kulirik jamku, mendekati setengah tiga, kami sudah menunggu satu jam lebih.

“Berapa menit?”

“Beberapa menit lagi, sampai hujan sedikit reda,” ulangku.

“Kalau tak kunRig reda?”

“Pasti reda,” Jawabku optimis, “Tak ada hujan yang tak reda, jangan bodoh.”

“Kalau redanya baru malam nanti? Kamu mau menunggu di sini hingga malam?”

Kupandang dia yang juga sedang memandangku. Selalu begitu, aku sangat hapal sifatnya yang ini. “Lani, jangan bilang kamu mau menerobos hujan…” aku melotot.

Dia tersenyum, “Itulah yang akan kita lakukan…”

Lalu tanpa sempat kucegah, dia sudah bergerak mendahuluiku. Lani berlari dalam hujan sambil merentangkan kedua tangannya, dia tertawa-tawa. Gadis itu sangat menikmati apa yang dilakukannya. Gigiku bergemeletukan karena geram, aku selalu kesal bila dia berhujan-hujanan seperti sekarang. Dapat dipastikan kalau besok –mungkin juga lusa- aku akan kesepian di kelas karena dia tidak masuk. Lani pasti akan demam. Aku ingat itu pernah terjadi beberapa kali, dia izin tidak ke kampus karena sakit setelah kehujanan sehari sebelumnya. Itulah alasan mengapa aku kesal dengan tingkahnya ini, aku tidak bersemangat melewati hariku di kelas bila dia tak ada.

“Ri, ayo… nanti kita kehabisan angkot!” Di gerbang kampus, dia berhenti untuk berteriak memanggilku sambil melambaikan tangannya.

Sial. Aku tahu kami tidak mungkin kehabisan angkot, dia juga tidak serius dengan ucapannya. Buku pelajaranku akan basah, jam tangan murahanku akan rusak, itu pasti. Aku merutuk dalam hati ketika berlari kencang menerjang kerapatan hujan menuju tempatnya berdiri menungguku. Lani semakin keras tertawa. Seluruh pakaianku sudah kuyup begitu tiba di naungan gerbang kampus, dia juga sama basahnya, malah lebih parah. Lani sengaja membiarkan dirinya lebih lama diguyur hujan dengan tidak berlari kencang ketika menuju kemari.

“Seru kan? Aku selalu ingin melakukannya tiap kali hujan turun.”

Aku melihat bibirnya agak bergetar, dia tahu dirinya akan kedinginan tapi malah nekat melawan hujan.

“Kamu menyakiti dirimu sendiri…” gumamku, rasanya aku ingin memeluknya ke dadaku.

“Ayo!” dia menyambar tanganku, lagi-lagi aku tak bisa mencegah.

Menit-menit berikutnya ketika kami bergerak bersama di bawah guyuran hujan, aku benar-benar lupa kalau beberapa saat lalu sempat tidak setuju dengan idenya ini. Tertawa-tawa, kami berlari berpegangan tangan menuju hentian angkot yang jaraknya lumayan jauh dari lokasi kampus. Selama itu, Lani tidak melepaskan genggamannya di tanganku, jemari kami tetap bertaut hingga tiba di halte. Di sana, tanpa memperdulikan beberapa pasang mata yang menatap keheranan pada kami, Lani memeluk lenganku. Sisa waktu hingga ketibaan angkot kuhabiskan dengan memandang tanganku yang dipeluknya.

“Lani, aku menyayangimu.”

***

0 Comment: