MENTARI AS-SHAFA
Hubunganku dengan Kak Distan berjalan cukup baik,
bahkan aku sudah tidak dapat menghitung lagi berapa kali aku bertemu dengannya.
Karena sangat sering, sepulang jam sekolah dia akan menungguiku di depan
gerbang untuk kemudian mengantarkanku pulang. Dia begitu menunjukan
perhatiannya kepadaku. Perhatian yang aku rasa berbeda dengan perhatian yang
diberikan seorang teman, atau perhatian kakak kepada adiknya, tapi perhatiannya
sungguh… tidak bisa aku jabarkan. Namun demikian, aku sangat menyukainya. Aku
memang berharap begitu, karena jauh di lubuk hatiku, aku telah menjatuhkan
pilihan cintaku teruntuk dia seorang.
Aku akui, sejak pertama bertemu dengannya Aku sudah
merasa benar-benar jatuh hati padanya. Kak Distan, cowok putih jangkung 21
tahun mahasiswa jurusan Arsitektur semester tiga. Pembawaanya yang tenang dan
ramah, juga perawakan yang kekar tak berlebihan, serta ketampanannya yang
selalu terpancar sungguh mampu membuat darahku berdesir dan jantungku berdegup
kencang.
Ingin sekali aku mengungkapkan betapa aku
menggilainya lebih dari aku menggilai cokelat yang sudah mencapai level akut
itu. Aku sungguh tak kuat lagi harus memendam rasa ini lebih lama. Namun, aku
takut akan mengubah semuanya, dunia indahku bersama Kak Distan, jika aku nekat
mengungkapkan apa yang hatiku rasakan. Walau seperhatian dan sesayang apapun
Kak Distan kepadaku, tapi aku masih tetap saja takut, aku kan perempuan. Kak
Distan, mengapa kau begitu baik padaku? Mengapa kau begitu perhatian kepadaku?
Itu semua membuatku bimbang. Apa sebenarnya yang kau rasakan terhadapku.
Cintakah? Sayangkah? Atau hanya sekedar main-mainkah? Aku benar-benar bisa gila
jika harus selalu berada pada situasi seperti ini.
***
Aku begitu terkejut, tak menyangka ketika seminggu
lalu ayah dan bunda memberitahukan suatu hal kepadaku. Bahkan aku juga melihat
gurat kesedihan dan ketidaksenangan di raut muka Davin yang kebetulan sedang
berada di rumahku. Ayah memberi tahu
bahwa kami sekeluarga harus pindah ke kota Dewata lantaran mutasi yang
dilakukan perusahan untuk ayah. Aku seperti ingin menangis, aku berusaha
menolak. Aku meyakinkan ayah dan bunda kalau aku sanggup hidup di sini walau
jauh dari mereka. Aku meyakinkan akan ada Davin dan Kak Distan yang akan sedia
membantuku di sini.
Namun nihil, mereka tetap kukuh dengan keputusan bodoh itu.
Alhasil, dengan teramat sangat berat hati aku hanya bisa menurutinya.
Besok pagi, aku harus meninggalkan kebahagiaanku di
sini, meninggalkan teman baik seperti Davin, terlebih meninggalkan cinta yang
sudah kupatri untuk Kak Distan. Aku benci takdir ini, takdir yang mengharuskan
aku jauh dari kebahagiaanku sendiri. Aku menangis sampai sesenggukan, sejak
kemarin tak ada kabar dari Kak Distan. Sejak mengabarkan perihal perpindahanku
pada Kak Distan beberapa hari yang lalu, dia seperti menghindar dariku, begitu
juga Davin.
Aku sadar, mereka marah besar. Tapi harusnya mereka juga tau, aku
tak menginginkan ini. Jika boleh memilih, tanpa harus berpikir dua kali aku
akan memutuskan untuk tetap tinggal di
sini, dekat dengan mereka. Aku begitu terpukul, belum lagi tiba hari
keberangkatanku, namun aku sudah merasakan kehilangan sebesar ini. Entah sudah keberapa kalinya aku menghubungi Kak Distan, namun tak ada satupun
panggilanku yang dijawabnya. Pun demikian dengan seabreg pesan-pesanku, tak ada
yang diindahkannya. Kak Distan, kenapa kakak menyiksaku seperti ini. Tangisku
pecah semakin menjadi-jadi. Aku hanya ingin untuk yang terakhir kali bertemu dengannya
barang beberapa kejap saja.
Waktu sudah menunjukan pukul satu lebih empat puluh
dini hari, namun tangisku belum juga reda. Sesak sekali, sakit sekali.
Ingatanku berulang kali me-reply
potret-potret kebersamaanku dengan Kak Distan. Saat kami bercanda, saat kami
tertawa, saat aku atau dia sedih, juga saat aku menangis karena keusilannya.
Semua itu terus terngiang-ngiang di dalam otak kecilku. Aku tersadar dari
lamunanku ketika benda kecil di sebelahku bergetar. Ada panggilan masuk
rupanya, dan betapa tersentaknya aku kala mengetahui bahwa itu panggilan dari
Kak Distan. Tanpa babibu aku langsung menjawab panggilannya. Terdengar suaranya
yang lemah dari corong hapeku.
“Kak Distan?” lirihku sambil menangis.
“Iya…” itu sungguh suara yang begitu aku rindukan.
Tapi suara itu bergetar, seperti terisak dalam diam.
Kak Distan menangis? Apa dia begitu marah padaku? Apa
dia begitu terluka atas kepergianku?
“Tari, turunlah. Kakak ada di bawah.” lanjutnya yang
kemudian disusul bunyi tuuttt panjang pertanda dia memutuskan teleponnya.
Aku menengok ke luar jendela, di sana di depan
gerbang berdiri sosok yang begitu aku harap kehadirannya. Aku berlari keluar
menuju sosok indah yang sedang terkoyak itu. Kuhamburkan tubuhku memeluknya
saat dia sudah berada di depan mataku. Dia juga balas memelukku tak kalah erat.
Aku terisak dalam dekapannya, menangis sesenggukan, begitu tak ingin jauh
darinya. Dia bukan kekasihku, namun hatiku sudah kupersembahkan teruntuk
dirinya seorang. Kak Distan mengangkat daguku, kemudian menatap lekat mataku.
Aku melihat kelopaknya berair, aku sudah tau kalau dia juga menangis sedari
tadi. Lama kami saling beradu pandang, kemudian didekatkannya wajah letih itu
kearah wajahku, dalam kedipan mata bibirku terasa basah. Dia menciumku, begitu
hangat dan dalam. Lama kami bertahan dalam moment
indah itu, hingga dia melepaskan bibirnya dariku dan berbisik.
“Kaki kakak tidak begitu kuat untuk menopang berat
badan kamu Tari.” Katanya sambil mengangguk dalam, menunjuk kaki kami berdua.
Aku yang tersadar hanya tersenyum. Ternyata selama
berciuman tadi kedua kakiku berada di atas sepatu Kak Distan. Wajahku berubah
merah seketika, ya jelas karena aku malu. Dan… ciuman barusan memperjelas
segalanya antara kami berdua.
“Kenapa Kakak tak menjawab teleponku, juga tak
membalas satupun pesan dariku. Menghilang begitu saja. Apa kakak marah?”
tanyaku dengan begitu polosnya saat kami sudah berada di dalam mobil.
“Lihat mata kakak, apa ada gurat amarah disana?”
“Aku tak melihat apapun, karena di sini terlalu
gelap.” Balasku.
Dia tersenyum sambil membelai rambutku. Kemudian dia
menyalakan lampu di dalam mobilnya.
“Kakak bukan menghilang, hanya butuh waktu untuk
menerima keadaan ini. Tari tau? kakak begitu tersiksa, begitu sakit yang tiada
tertara di sini.” dia meletakkan tanganku di dadanya, aku tau yang di maksud
adalah hatinya. “Entah kenapa dan bagaimana, kakak juga tak tau. Namun akhirnya
kakak sadar, kakak tau jawaban pastinya, bahwa kakak tidak mau kehilangan Tari,
hati ini menginginkan selalu berada di dekat Tari. Karena hati kakak memilih
Tari. Kemudian dia menuntun kakak ke sini. Untuk mengatakan bahwa kakak
mencintai Tari, menyayangi Tari, dan teramat sangat menginginkan Tari. Sedari
dulu…” Lanjutnya dengan suara parau.
Aku tak tau harus menjawab apa, aku begitu bahagia
mendengar penuturannya itu. Terlalu bahagia sampai tak dapat bersuara. Air
matapun menitik, itu air mata bahagiaku.
“Apa kakak tau, betapa tersiksa memandam cinta Tari
buat kakak selama ini. Hati Tari juga sudah memilih kakak. Tari sayang kakak.
Tari sangat menyayangi kakak.”
“Kakak tau itu, dan semoga belum terlambat untuk
kakak mengatakan ini, apa Tari mau jadi pacar Kak Distan?”
“Apakah ada alasan buat Tari untuk menolaknya?”
“Hmmm…. Baguslah, jika sudah jelas begitu maka tak
ragu lagi untuk kakak meminta ini… Jagalah hati Tari hanya untuk kakak seorang.
Berjanjilah takkan pernah ada nama lain di hati Tari. Itu hanya punya kakak,
itu cuma milik kakak. Apa Tari mau berjanji?” bisiknya menatap lekat mataku.
“Apa kakak juga akan melakukan hal yang sama?”
Dia mengangguk.
“Tari janji hanya akan mencintai kakak, hanya akan
menyimpan nama kakak di sini, di hati Tari.”
Entah siapa yang memulainya, bibir kamipun sudah
menyatu kembali. Lidahnya menyapu dinding-dinding mulutku. Mengulum bibirku
lembut, sungguh nikmat dan nyaman. Getarannya terasa sampai ke hati. Dia orang
pertama yang menciumku, aku begitu bahagia karena Kak Distan yang melakukannya.
Tok… tok…
Ciuman kami terhenti. Seseorang mengetuk kaca mobil
Kak Distan. Karena kaget reflek aku mendorong badan Kak Distan hingga kepalanya
membentur kaca depan mobil. Dan aku? bibirku tergigit hingga mengeluarkan
darah. Setelah kaca pintu mobil di buka, sosok Davin dengan muka tak berdosanya
itu menengok ke dalam.
“Apa kalian bakal ngerayain hari jadi kalian tanpa
partisipasi dari gue?”
Ya Tuhan, makhluk itu tahu… Serentak kami bertiga
lantas terbahak hingga memecah keheningan malam. Aku tak menyangka atas respon
Davin. Aku bangga padanya, dia kocak dan mampu menghiburku. Kalau sudah begini,
maka aku merasa sujuta kali lebih berat untuk pergi. Perih pasti ada, sedih
apalagi. Namun aku patut berbangga, karena aku akan pergi membekali hati Kak
Distan. Aku sedih, tapi aku juga Bahagia.
***
To be continued..
0 Comment:
Posting Komentar