Chrome Pointer

Senin, 30 November 2015

AKU DAN TARI JILID XII: “KEPINDAHAN TARI (LAGI)”


MENTARI AS-SHAFA

Hubunganku dengan Kak Distan berjalan cukup baik, bahkan aku sudah tidak dapat menghitung lagi berapa kali aku bertemu dengannya. Karena sangat sering, sepulang jam sekolah dia akan menungguiku di depan gerbang untuk kemudian mengantarkanku pulang. Dia begitu menunjukan perhatiannya kepadaku. Perhatian yang aku rasa berbeda dengan perhatian yang diberikan seorang teman, atau perhatian kakak kepada adiknya, tapi perhatiannya sungguh… tidak bisa aku jabarkan. Namun demikian, aku sangat menyukainya. Aku memang berharap begitu, karena jauh di lubuk hatiku, aku telah menjatuhkan pilihan cintaku teruntuk dia seorang.

Aku akui, sejak pertama bertemu dengannya Aku sudah merasa benar-benar jatuh hati padanya. Kak Distan, cowok putih jangkung 21 tahun mahasiswa jurusan Arsitektur semester tiga. Pembawaanya yang tenang dan ramah, juga perawakan yang kekar tak berlebihan, serta ketampanannya yang selalu terpancar sungguh mampu membuat darahku berdesir dan jantungku berdegup kencang.

Ingin sekali aku mengungkapkan betapa aku menggilainya lebih dari aku menggilai cokelat yang sudah mencapai level akut itu. Aku sungguh tak kuat lagi harus memendam rasa ini lebih lama. Namun, aku takut akan mengubah semuanya, dunia indahku bersama Kak Distan, jika aku nekat mengungkapkan apa yang hatiku rasakan. Walau seperhatian dan sesayang apapun Kak Distan kepadaku, tapi aku masih tetap saja takut, aku kan perempuan. Kak Distan, mengapa kau begitu baik padaku? Mengapa kau begitu perhatian kepadaku? Itu semua membuatku bimbang. Apa sebenarnya yang kau rasakan terhadapku. Cintakah? Sayangkah? Atau hanya sekedar main-mainkah? Aku benar-benar bisa gila jika harus selalu berada pada situasi seperti ini.

***

Aku begitu terkejut, tak menyangka ketika seminggu lalu ayah dan bunda memberitahukan suatu hal kepadaku. Bahkan aku juga melihat gurat kesedihan dan ketidaksenangan di raut muka Davin yang kebetulan sedang berada di rumahku.  Ayah memberi tahu bahwa kami sekeluarga harus pindah ke kota Dewata lantaran mutasi yang dilakukan perusahan untuk ayah. Aku seperti ingin menangis, aku berusaha menolak. Aku meyakinkan ayah dan bunda kalau aku sanggup hidup di sini walau jauh dari mereka. Aku meyakinkan akan ada Davin dan Kak Distan yang akan sedia membantuku di sini.

Namun nihil, mereka tetap kukuh dengan keputusan bodoh itu. Alhasil, dengan teramat sangat berat hati aku hanya bisa menurutinya.

Besok pagi, aku harus meninggalkan kebahagiaanku di sini, meninggalkan teman baik seperti Davin, terlebih meninggalkan cinta yang sudah kupatri untuk Kak Distan. Aku benci takdir ini, takdir yang mengharuskan aku jauh dari kebahagiaanku sendiri. Aku menangis sampai sesenggukan, sejak kemarin tak ada kabar dari Kak Distan. Sejak mengabarkan perihal perpindahanku pada Kak Distan beberapa hari yang lalu, dia seperti menghindar dariku, begitu juga Davin.

Aku sadar, mereka marah besar. Tapi harusnya mereka juga tau, aku tak menginginkan ini. Jika boleh memilih, tanpa harus berpikir dua kali aku akan memutuskan untuk tetap  tinggal di sini, dekat dengan mereka. Aku begitu terpukul, belum lagi tiba hari keberangkatanku, namun aku sudah merasakan kehilangan sebesar ini.  Entah sudah keberapa kalinya aku  menghubungi Kak Distan, namun tak ada satupun panggilanku yang dijawabnya. Pun demikian dengan seabreg pesan-pesanku, tak ada yang diindahkannya. Kak Distan, kenapa kakak menyiksaku seperti ini. Tangisku pecah semakin menjadi-jadi. Aku hanya ingin untuk yang terakhir kali bertemu dengannya barang beberapa kejap saja.

Waktu sudah menunjukan pukul satu lebih empat puluh dini hari, namun tangisku belum juga reda. Sesak sekali, sakit sekali. Ingatanku berulang kali me-reply potret-potret kebersamaanku dengan Kak Distan. Saat kami bercanda, saat kami tertawa, saat aku atau dia sedih, juga saat aku menangis karena keusilannya. Semua itu terus terngiang-ngiang di dalam otak kecilku. Aku tersadar dari lamunanku ketika benda kecil di sebelahku bergetar. Ada panggilan masuk rupanya, dan betapa tersentaknya aku kala mengetahui bahwa itu panggilan dari Kak Distan. Tanpa babibu aku langsung menjawab panggilannya. Terdengar suaranya yang lemah dari corong hapeku.

“Kak Distan?” lirihku sambil menangis.

“Iya…” itu sungguh suara yang begitu aku rindukan. Tapi suara itu bergetar, seperti terisak dalam diam.

Kak Distan menangis? Apa dia begitu marah padaku? Apa dia begitu terluka atas kepergianku?

“Tari, turunlah. Kakak ada di bawah.” lanjutnya yang kemudian disusul bunyi tuuttt panjang pertanda dia memutuskan teleponnya.

Aku menengok ke luar jendela, di sana di depan gerbang berdiri sosok yang begitu aku harap kehadirannya. Aku berlari keluar menuju sosok indah yang sedang terkoyak itu. Kuhamburkan tubuhku memeluknya saat dia sudah berada di depan mataku. Dia juga balas memelukku tak kalah erat. Aku terisak dalam dekapannya, menangis sesenggukan, begitu tak ingin jauh darinya. Dia bukan kekasihku, namun hatiku sudah kupersembahkan teruntuk dirinya seorang. Kak Distan mengangkat daguku, kemudian menatap lekat mataku. Aku melihat kelopaknya berair, aku sudah tau kalau dia juga menangis sedari tadi. Lama kami saling beradu pandang, kemudian didekatkannya wajah letih itu kearah wajahku, dalam kedipan mata bibirku terasa basah. Dia menciumku, begitu hangat dan dalam. Lama kami bertahan dalam moment indah itu, hingga dia melepaskan bibirnya dariku dan berbisik.

“Kaki kakak tidak begitu kuat untuk menopang berat badan kamu Tari.” Katanya sambil mengangguk dalam, menunjuk kaki kami berdua.

Aku yang tersadar hanya tersenyum. Ternyata selama berciuman tadi kedua kakiku berada di atas sepatu Kak Distan. Wajahku berubah merah seketika, ya jelas karena aku malu. Dan… ciuman barusan memperjelas segalanya antara kami berdua.

“Kenapa Kakak tak menjawab teleponku, juga tak membalas satupun pesan dariku. Menghilang begitu saja. Apa kakak marah?” tanyaku dengan begitu polosnya saat kami sudah berada di dalam mobil.

“Lihat mata kakak, apa ada gurat amarah disana?”

“Aku tak melihat apapun, karena di sini terlalu gelap.” Balasku.

Dia tersenyum sambil membelai rambutku. Kemudian dia menyalakan lampu di dalam mobilnya.
“Kakak bukan menghilang, hanya butuh waktu untuk menerima keadaan ini. Tari tau? kakak begitu tersiksa, begitu sakit yang tiada tertara di sini.” dia meletakkan tanganku di dadanya, aku tau yang di maksud adalah hatinya. “Entah kenapa dan bagaimana, kakak juga tak tau. Namun akhirnya kakak sadar, kakak tau jawaban pastinya, bahwa kakak tidak mau kehilangan Tari, hati ini menginginkan selalu berada di dekat Tari. Karena hati kakak memilih Tari. Kemudian dia menuntun kakak ke sini. Untuk mengatakan bahwa kakak mencintai Tari, menyayangi Tari, dan teramat sangat menginginkan Tari. Sedari dulu…” Lanjutnya dengan suara parau.

Aku tak tau harus menjawab apa, aku begitu bahagia mendengar penuturannya itu. Terlalu bahagia sampai tak dapat bersuara. Air matapun menitik, itu air mata bahagiaku.

“Apa kakak tau, betapa tersiksa memandam cinta Tari buat kakak selama ini. Hati Tari juga sudah memilih kakak. Tari sayang kakak. Tari sangat menyayangi kakak.”

“Kakak tau itu, dan semoga belum terlambat untuk kakak mengatakan ini, apa Tari mau jadi pacar Kak Distan?”

“Apakah ada alasan buat Tari untuk menolaknya?”

“Hmmm…. Baguslah, jika sudah jelas begitu maka tak ragu lagi untuk kakak meminta ini… Jagalah hati Tari hanya untuk kakak seorang. Berjanjilah takkan pernah ada nama lain di hati Tari. Itu hanya punya kakak, itu cuma milik kakak. Apa Tari mau berjanji?” bisiknya menatap lekat mataku.
“Apa kakak juga akan melakukan hal yang sama?”

Dia mengangguk.

“Tari janji hanya akan mencintai kakak, hanya akan menyimpan nama kakak di sini, di hati Tari.”
Entah siapa yang memulainya, bibir kamipun sudah menyatu kembali. Lidahnya menyapu dinding-dinding mulutku. Mengulum bibirku lembut, sungguh nikmat dan nyaman. Getarannya terasa sampai ke hati. Dia orang pertama yang menciumku, aku begitu bahagia karena Kak Distan yang melakukannya.

Tok… tok…

Ciuman kami terhenti. Seseorang mengetuk kaca mobil Kak Distan. Karena kaget reflek aku mendorong badan Kak Distan hingga kepalanya membentur kaca depan mobil. Dan aku? bibirku tergigit hingga mengeluarkan darah. Setelah kaca pintu mobil di buka, sosok Davin dengan muka tak berdosanya itu menengok ke dalam.

“Apa kalian bakal ngerayain hari jadi kalian tanpa partisipasi dari gue?”

Ya Tuhan, makhluk itu tahu… Serentak kami bertiga lantas terbahak hingga memecah keheningan malam. Aku tak menyangka atas respon Davin. Aku bangga padanya, dia kocak dan mampu menghiburku. Kalau sudah begini, maka aku merasa sujuta kali lebih berat untuk pergi. Perih pasti ada, sedih apalagi. Namun aku patut berbangga, karena aku akan pergi membekali hati Kak Distan. Aku sedih, tapi aku juga Bahagia.


***

To be continued..

0 Comment: