MENTARI AS-SHAFA
Ini adalah perjumpaan keduaku dengan pemuda yang
baru saja aku ketahui bernama Distan itu.Pertemuan sebelumnya terjadi ketika
aku sedang berada di kios cokelat yang rutin aku kunjungi tiap luang atau usai
sekolah. Waktu itu akhir pekan, aku tengah bingung mencari dompetku yang sebelumnya aku selipkan
di saku bagian belakang celana, namun saat aku bermaksud mengambilnya untuk
membayar, aku tidak menemukan dompetku lagi. Alhasil, aku harus mengembalikan
benda manis yang sangat aku gilai itu kedalam raknya semula. sedang sibuk mengingat-ingat kemungkinan aku lupa
menaruh uangku, seorang laki-laki yang aku tafsir berusia beberapa tahun lebih
tua dariku datang menghampiri, kemudian bertanya,
“Apakah ada masalah?”
Aku yang kala itu belum mengenalnya hanya mengangguk
saja, dan menceritakan perihal dompetku yang hilang. Tanpa aku sangka, dengan
begitu berbaik hati dia mengambil banyak batang cokelat dan menyeretku ke kasir
kemudian membayarkan semuanya.
“Terima kasih, aku akan mengembalikan uangmu lain
waktu.” Ucapku berterima kasih. Dia hanya mengangguk kemudian berlalu begitu
saja. Tapi…. Tunggu..!!! siapa namanya? aku berusaha mengejar, namun sama
sekali tak dapat kutemui sosoknya. Bagaimana aku akan mengembalikan uangnya
jika namanya saja aku tak tahu? Belum lagi identitasnya yang lain. Sungguh
bodoh, mengapa aku tak menanyai namanya tadi.
Sepanjang perjalanan pulangku, aku hanya sibuk merutuki kebodohanku
sambil berpikir bagaimana cara aku bisa menjumpainya lagi untuk mengembalikan
uangnya.
***
Aku sedang berada di alun-alun kota bersama Davin,
tetangga sebelah rumah yang juga merangkap jabatan sebagai sahabatkusemenjak
aku pindah ke Yogyakarta. Kami tengah asik berkutat dengan kanvas dan alat
lukis kami, namun tiba-tiba sebuah bola menghampiri kami dan sukses
memporak-porandakan peralatan menggambar kami, khususnya punyaku. Aku sangat
kesal dan berusaha mencari sumber datangnya bola sial ini. Tak perlu waktu lama
aku segera menemukannya, dari kejauhan terlihat remaja laki-laki berlari ke
arahku. Dengan nafas yang tak beraturan dan peluh bercucuran dia menghardik
meminta kembali bola sialnya itu. Namun karena masih kesal, aku tetap menahan
bolanya dan meminta pertanggungjawaban dari si empunya bola.
Lama kami berdebat, hingga sebuah suara menghentikan
percekcokan kami.
“Mike, nape lu lama banget? Mana bolanya ?” teriak
seseorang dari belakang cowok belagu tak bertanggung jawab yang ternyata
bernama Mike itu.
“Jangan salahin gue, nih anak gak mau balikin kita
punya bola.” Balas orang bernama Mike
sambil menunjuk ke arahku.
Teman Mike yang berteriak tadi berjalan mendekat
kearah kami. Dan kalian tau? Ternyata dia adalah orang yang membayarkan cokelatku tepat dua pekan yang
lalu. Seperti masih mengenaliku, dia hanya tersenyum kemuadian meminta bolanya
kembali.
“Ternyata kau manis, apakah boleh kami meminta
kembali bola kami?”.
“Distan, lu kenal ama nih cewek bawel? Tau gitu
mending lu aja yang ngambil bolanya tadi. Biar gue gak perlu repot adu debat
sama dia.” Ujar Mike dengan muka masamnya yang hanya dibalas dengan sekali anggukan
oleh lelaki yang dipanggilnya Distan, si penebus coklatku.
Ternyata orang yang memenuhi ruang pikiranku dua
pekan terakhir ini bernama Distan. Karena aku merasa masih berhutang denganya,
akhirnya dengan sangat berat hati aku mengembalikan bola sial itu. Merasa
menang bisa mendapatkan kembali bolanya, Si Mike pun berlari menghampiri
teman-temannya yang sudah cukup lama menungguinya. Sedangkan Distan, dia masih
tinggal dan ikut membantu aku dan Davin membereskan peralatan lukis kami yang
berantakan itu.
“Maaf untuk bola kami yang menghancurkan acara
melukis kalian. Aku sungguh akan bertanggungjawab atas semua ini, dan apa yang
bisa aku lakukan buat menebusnya?” ucap Distan kepada kami saat sedang
berbenah.
Jujur aku masih sangat marah, namun rasanya tak tau
diri sekali jika aku masih meminta pertanggungjawaban setelah dia membayarkan
cokelatku tempo hari.
“Emm… tidak perlu, kami tidak …..”
“Apa? tidak perlu? enak aja, gue udah ngerelain
waktu jalan gue sama Kila khusus buat nemenin lo ngelukis di sini yang justru
menjadi berantakan, tapi lo malah bilang nggak perlu. Lo tu gimana sih Tar?”
sela Davin keras tak ber-space
sekaligus menyalahkanku.
“Dav, lo diem deh. Lo tau? dia itu yang udah bayarin
cokelat gue tempo hari.” Hardikku dongkol berusaha memberitahu Davin supaya
tidak marah-marah lagi. Dan baiknya, Davin pun langsung mengerti dan berbalik
meminta maaf.
“Maaf, gue nggak tau.”
“Hahaha… kalian itu lucu sekali. Sudahlah tak apa,
nanti kuberikan cokelat buat kalian sebagai tanda permintaan maafku.” Ujar
Distan
“Ta… tapiii……”,
“Tapi apa TARI? bukannya lo seneng banget sama
cokelat? pake acara sok nolak segala.” Potong Davin lagi dengan menekankan
suaranya saat menyebut namaku yang sukses bikin aku malu. Sungguh luar biasa,
mahluk bernama Davin itu memang banyak sekali bicara.
“Hei.. makanya lu diem dulu. Gue kan belum kelar
ngomongnya. Main potong aja.” Davin kembali mendapatkan pelototanku. “Aku masih
punya hutang yang belum dibayar sama kak
Di… emm Da… eh…!@!#$!@.” aku lupa namanya.
“Distan”
“Iya, Kak Distan maksudku.” Entah kenapa sebutan kakak meluncur begitu
saja dari mulutku,
“Hah? Kakak? ganjen banget lu, Tar.” Timbrung Davin
lagi yang hanya kubalas dengan tatapan sinis.
“Hahaha… kalian ini, baguslah. Kalian memang harus
memanggilku Kakak, karena aku memang lebih tua dari kalian. Dan hutang Tari
sama Kakak sudah dianggap lunas, semoga Kakak tak salah menyebut namamu tadi.”
katanya sambil menunjuk ke arahku.
“Right, makhluk manis ini emang Tari. Dan gue
Davin.” Ucap Davin lantang sambil menjabat tangan Kak Distan. Pede sekali dia,
bukannya tadi Kak Distan menanyai aku, tapi kenapa malah dia yang
memperkenalkan diri. Tidak tau malu, dasar Davin.
“Baiklah, sekarang angkat alat lukis kalian dan bawa
ke mobil, Kakak akan mengantar kalian pulang setelah kakak melunasi janji
membelikan cokelat untuk kalian.”
Tanpa berfikir lama, kami pun mengekor di belakang
Kak Distan. Sebelum maghrib, Kak Distan sudah mengantar kami sampai rumah.
Kebetulan rumahku dan Davin bersebelahan. Dengan berbasa-basi aku mengajak Kak
Distan mampir barang hanya sebentar, namun dia menolaknya dan berjanji akan
datang berkunjung lain kali.
I’ll be waiting…
***
To be continued..
0 Comment:
Posting Komentar