Chrome Pointer

Minggu, 29 November 2015

AKU DAN TARI JILID XI: “DISTAN, PRIA BARU TARI”



MENTARI AS-SHAFA

Ini adalah perjumpaan keduaku dengan pemuda yang baru saja aku ketahui bernama Distan itu.Pertemuan sebelumnya terjadi ketika aku sedang berada di kios cokelat yang rutin aku kunjungi tiap luang atau usai sekolah. Waktu itu akhir pekan, aku tengah bingung  mencari dompetku yang sebelumnya aku selipkan di saku bagian belakang celana, namun saat aku bermaksud mengambilnya untuk membayar, aku tidak menemukan dompetku lagi. Alhasil, aku harus mengembalikan benda manis yang sangat aku gilai itu kedalam raknya semula. sedang  sibuk mengingat-ingat kemungkinan aku lupa menaruh uangku, seorang laki-laki yang aku tafsir berusia beberapa tahun lebih tua dariku datang menghampiri, kemudian bertanya,

“Apakah ada masalah?”

Aku yang kala itu belum mengenalnya hanya mengangguk saja, dan menceritakan perihal dompetku yang hilang. Tanpa aku sangka, dengan begitu berbaik hati dia mengambil banyak batang cokelat dan menyeretku ke kasir kemudian membayarkan semuanya.

“Terima kasih, aku akan mengembalikan uangmu lain waktu.” Ucapku berterima kasih. Dia hanya mengangguk kemudian berlalu begitu saja. Tapi…. Tunggu..!!! siapa namanya? aku berusaha mengejar, namun sama sekali tak dapat kutemui sosoknya. Bagaimana aku akan mengembalikan uangnya jika namanya saja aku tak tahu? Belum lagi identitasnya yang lain. Sungguh bodoh, mengapa aku tak menanyai namanya tadi.  Sepanjang perjalanan pulangku, aku hanya sibuk merutuki kebodohanku sambil berpikir bagaimana cara aku bisa menjumpainya lagi untuk mengembalikan uangnya.

***

Aku sedang berada di alun-alun kota bersama Davin, tetangga sebelah rumah yang juga merangkap jabatan sebagai sahabatkusemenjak aku pindah ke Yogyakarta. Kami tengah asik berkutat dengan kanvas dan alat lukis kami, namun tiba-tiba sebuah bola menghampiri kami dan sukses memporak-porandakan peralatan menggambar kami, khususnya punyaku. Aku sangat kesal dan berusaha mencari sumber datangnya bola sial ini. Tak perlu waktu lama aku segera menemukannya, dari kejauhan terlihat remaja laki-laki berlari ke arahku. Dengan nafas yang tak beraturan dan peluh bercucuran dia menghardik meminta kembali bola sialnya itu. Namun karena masih kesal, aku tetap menahan bolanya dan meminta pertanggungjawaban dari si empunya bola.

Lama kami berdebat, hingga sebuah suara menghentikan percekcokan kami.

“Mike, nape lu lama banget? Mana bolanya ?” teriak seseorang dari belakang cowok belagu tak bertanggung jawab yang ternyata bernama Mike itu.

“Jangan salahin gue, nih anak gak mau balikin kita punya bola.” Balas orang bernama Mike  sambil menunjuk ke arahku.

Teman Mike yang berteriak tadi berjalan mendekat kearah kami. Dan kalian tau? Ternyata dia adalah orang yang  membayarkan cokelatku tepat dua pekan yang lalu. Seperti masih mengenaliku, dia hanya tersenyum kemuadian meminta bolanya kembali.

“Ternyata kau manis, apakah boleh kami meminta kembali bola kami?”.

“Distan, lu kenal ama nih cewek bawel? Tau gitu mending lu aja yang ngambil bolanya tadi. Biar gue gak perlu repot adu debat sama dia.” Ujar Mike dengan muka masamnya yang hanya dibalas dengan sekali anggukan oleh lelaki yang dipanggilnya Distan, si penebus coklatku.

Ternyata orang yang memenuhi ruang pikiranku dua pekan terakhir ini bernama Distan. Karena aku merasa masih berhutang denganya, akhirnya dengan sangat berat hati aku mengembalikan bola sial itu. Merasa menang bisa mendapatkan kembali bolanya, Si Mike pun berlari menghampiri teman-temannya yang sudah cukup lama menungguinya. Sedangkan Distan, dia masih tinggal dan ikut membantu aku dan Davin membereskan peralatan lukis kami yang berantakan itu.

“Maaf untuk bola kami yang menghancurkan acara melukis kalian. Aku sungguh akan bertanggungjawab atas semua ini, dan apa yang bisa aku lakukan buat menebusnya?” ucap Distan kepada kami saat sedang berbenah.

Jujur aku masih sangat marah, namun rasanya tak tau diri sekali jika aku masih meminta pertanggungjawaban setelah dia membayarkan cokelatku tempo hari.

“Emm… tidak perlu, kami tidak …..”

“Apa? tidak perlu? enak aja, gue udah ngerelain waktu jalan gue sama Kila khusus buat nemenin lo ngelukis di sini yang justru menjadi berantakan, tapi lo malah bilang nggak perlu. Lo tu gimana sih Tar?” sela Davin keras tak ber-space sekaligus menyalahkanku.

“Dav, lo diem deh. Lo tau? dia itu yang udah bayarin cokelat gue tempo hari.” Hardikku dongkol berusaha memberitahu Davin supaya tidak marah-marah lagi. Dan baiknya, Davin pun langsung mengerti dan berbalik meminta maaf.

“Maaf, gue nggak tau.”

“Hahaha… kalian itu lucu sekali. Sudahlah tak apa, nanti kuberikan cokelat buat kalian sebagai tanda permintaan maafku.” Ujar Distan

“Ta… tapiii……”,

“Tapi apa TARI? bukannya lo seneng banget sama cokelat? pake acara sok nolak segala.” Potong Davin lagi dengan menekankan suaranya saat menyebut namaku yang sukses bikin aku malu. Sungguh luar biasa, mahluk bernama Davin itu memang banyak sekali bicara.

“Hei.. makanya lu diem dulu. Gue kan belum kelar ngomongnya. Main potong aja.” Davin kembali mendapatkan pelototanku. “Aku masih punya hutang  yang belum dibayar sama kak Di… emm Da… eh…!@!#$!@.” aku lupa namanya.

“Distan”

“Iya, Kak Distan maksudku.”  Entah kenapa sebutan kakak meluncur begitu saja dari mulutku,

“Hah? Kakak? ganjen banget lu, Tar.” Timbrung Davin lagi yang hanya kubalas dengan tatapan sinis.
“Hahaha… kalian ini, baguslah. Kalian memang harus memanggilku Kakak, karena aku memang lebih tua dari kalian. Dan hutang Tari sama Kakak sudah dianggap lunas, semoga Kakak tak salah menyebut namamu tadi.” katanya sambil menunjuk ke arahku.

“Right, makhluk manis ini emang Tari. Dan gue Davin.” Ucap Davin lantang sambil menjabat tangan Kak Distan. Pede sekali dia, bukannya tadi Kak Distan menanyai aku, tapi kenapa malah dia yang memperkenalkan diri. Tidak tau malu, dasar Davin.

“Baiklah, sekarang angkat alat lukis kalian dan bawa ke mobil, Kakak akan mengantar kalian pulang setelah kakak melunasi janji membelikan cokelat untuk kalian.”

Tanpa berfikir lama, kami pun mengekor di belakang Kak Distan. Sebelum maghrib, Kak Distan sudah mengantar kami sampai rumah. Kebetulan rumahku dan Davin bersebelahan. Dengan berbasa-basi aku mengajak Kak Distan mampir barang hanya sebentar, namun dia menolaknya dan berjanji akan datang berkunjung lain kali.

I’ll be waiting…


***

To be continued..

0 Comment: