Chrome Pointer

Jumat, 24 Juli 2015

AKU DAN TARI JILID VIII : "SENJA BERHIAS LAYANG-LAYANG, SEPERTI IMPIANMU"



Kali ini, aku yang bosan dirumah sendirian karena keluargaku semuanya belum pulang sejak 3 hari yang lalu, mereka sedang ada acara keluarga di Ciamis, sedang aku tak mungkin ikut karena menjelang ramadhan kali ini aku disibukan dengan banyaknya Quis dikampus, karena itu aku memutuskan untuk main ke rumah Dwimas. Sahabat ospekku saat pertama kali aku diospek dikampus perjuangan ini. Meskipun kami berbeda jurusan, dia mengambil Ilmu Hukum dan aku mengambil Teknik Arsitektur.

Tanpa berpikir panjang, aku segera berangkat ke rumahnya. Rumahnya berada di Cianjur, tepatnya di Ciranjang. Ia sebenarnya lahir di Pekanbaru, ayahnya orang Pekanbaru, ibunya orang Medan, namun ayahnya yang notabene merupakan PNS, dimutasi ke Ciranjang, Cianjur beberapa tahun yang lalu.

*4 Jam kemudian*

Setelah melalui perjalanan selama 4 jam, dengan menaiki Bis, Angkot dan Ojeg. Akhirnya aku sampai kerumahnya. Aku langsung bersalaman dengan Mamanya, nampaknya Papanya sedang tidak ada dirumah. Aku diarahkan Dwimas ke lantai 2, dimana kamarnya berada. Dia pamit karena disuruh Mamanya sebentar. Aku pun mengiyakannya.

Karena bosan, sore itu aku duduk diteras lantai 2 depan kamar Dwimas. Aku melamun sendirian ditempat itu. Ohya, aku ditemani satu piring tipat cantok lengkap dengan kerupuk berasnya. Rasa khas melayu kental sekali dirumah ini. Kata Dwimas ini adalah makanan khas keluarganya di Pekanbaru. Dia berkata bahwa ia sendiri jarang sekali mendapatkan makanan ini, soalnya mamanya hanya membuat makanan ini disaat-saat tertentu saja, semisal idul fitri dan idul adha. Tak lupa sore itu aku memutar musik "PARADISE" yang merupakan salah satu lagu milik Coldplay yang nge-hits di Eropa pada tahun 1990an. Sore ini sungguh terasa begitu sempurna. Aku jadi teringat Tari. Hm, sudahlah..

Langit senja itu tampak cantik dengan warna biru muda bersemburat garis-garis putih bagai kapas, awan. Aku memutuskan untuk berdiri dan berpegangan didepan balkon untuk melihat gradasi warna senja diufuk barat yang keemasan dan awan yang menjadi jingga mengantarkan mentari ke peraduannya.

Langit senja kali ini tak sendirian, ia ditemani burung-burung senja yang menawan dan layang-layang yang lemah lembut dibelai angin.

"Tari, ini sama persis seperti impianmu yang kamu ceritakan dulu sebelum kepindahanmu ke Surabaya. Kau ingat? Momen dimana kau menceritakan semua impianmu didepanku di Taman tempat kita banyak bercerita satu sama lain. Ingat? Aku merindukanmu Tari. Dimana kau sekarang? 3 bulan ini tak ada sepucuk pun surat yang kau kirim. Tak ada satupun e-mailku yang kau balas. Tak ada satupun SMS ku yang terkirim, dan semua akun sosial mediamu tiba-tiba lenyap. Kemana kau Tari? Kemana?"

Dwimas tiba-tiba datang menghampiriku. "Heh, kenapa lu Ri, sore disini indah kan? Apa kata gua, bener kan?" tuturnya bangga.

Aku menghiraukannya, aku terus saja melihat layang-layang yang meliuk-liuk, sesekali beberapa bagiannya terkibas angin, memperlihatkan betapa angin menghempaskannya dengan lembut, sesaat aku merasa ingin seperti layang-layang. Terbang bebas.

"Heh, ngelamun aja lu, gua tanya nggak nyaut. Ada apaan si? Serius amat?" Bentaknya agak marah. "Oh maaf Dwim, gua tadi ngelamun" jawabku singkat.

"Ngelamunin siapa si?" tanyanya penasaran

"Ngelamunin elu"

"Kambing lu, gua nanya serius!"

"Haha, segitunya pengen tau?"

"Serah lu dah!"

"Cep, cep, cep.. Gak usah marah gitulah, gua tadi kepikiran temen gua Tari"

"Temen apa demen?"

"Temenlah!"

"Masa ampe kepikiran gitu? Pake cengar-cengir najis gitu lagi"

"Temen KAMFRET!"

"Selow dong bang, hihihi" jawab Dwimas sambil ketawa iblis.

Setelah itu aku tak membalas lagi, dan suasana pun menjadi hening.

"Dwim.."

"Apaan"

"Layang-layang itu seolah-olah bebas ya, meskipun hanya disatu tempat tapi tetap membumbung tinggi dan tak terlepas. Sesekali angin melabuhkannya lebih rendah dan si tuan yang menggenggam talinya akan menariknya lebih dekat. Lihat, angin datang perlahan, seperti menaiki anak tangga. Mereka kembali ketempat yang tinggi, yakni langit senja. Benar katamu, disini indah Dwim."

"Ri, layang-layang itu tampak kecil dari tempat kita memandangnya. Namun tentu saja ukurannya jauh lebih besar dari itu. Gua jadi keinget layang-layang banjar, dulu kakek sering ngajak gua main layangan banjar, ukurannya besar dan kadang perlu truk untuk mengangkutnya, berat pasti. Bahkan lebih berat dari badan gua. Tapi ajaibnya mereka bisa terbang. Lu sepakat nggak kalau itu ajaib?"

"Gua si nggak tahu pasti uraian ilmiahnya kek gimana, yang gua tau layang-layang itu ada kaitannya dengan Teori Archimedes tentang Aerodinamika."

"Pinter! Bagi paman Archimedes, itu bukanlah keajaiban, tetapi hanya benda yang mengikuti prinsip aerodinamika. Bahkan dengan prinsip itu pula paman Habibie bisa menerbangkan pesawat besi yang beratnya puluhan kali lipat dari layang-layang banjar."

"Yeah, It's exactly right. That's just science, but it's about memorable Dwim."

Tari, andaikan kau disini aku ingin membisikkan kalimatku padamu, "Berat atau ringan, besar atau kecil, bila rancangan si layang-layang mengikuti 'hukum' nya. Ia akan terbang, tentunya bersama angin."

Melalui bisikan kalimat itu aku ingin berpesan bahwa apapun yang kita alami dalam hubungan kita aku berharap kau tetap memegang erat janji (hukum) kita berdua, agar kita bisa tetap terbang terbawa angin seperti layang-layang.


MENTARI AS-SHAFA, AKU MERINDUKANMU..
Dalam hening senja..

0 Comment: