Chrome Pointer

Jumat, 05 Juni 2015

AKU DAN TARI JILID III : "SEBUAH KEPUTUSAN DIRINTIK HUJAN BULAN JULI"



Apa yang akan dikabarkan hujan kali ini, kedatangannya begitu diam-diam, seolah ia mengerti isyarat kerinduanku. Adakah ia tahu perihal kesedihan yang aku tuangkan disetiap rapal doaku? Ataukah hanya singgah sebentar untuk menitipkan pesan bahwa perempuan hujanku tak akan pernah kembali? Apapun itu, hadir hujan dan rinainya di sore ini telah begitu membahagiakanku. Dan akan selalu begitu. Karena bagiku, hujan, dengan atau tanpa ‘dia’, tetaplah satu paket utuh yang akan selalu menjadi kado bagi kenanganku.

Hujan, teruslah merinai.. Untuk ku titip doa hingga di tujuh langitNya.. Di sini, di balik jendela kamarku. Aku akan selalu menanti, menanti permulaan tetesanmu.. Disini, dalam debar menanti hujan lagi, aku menunggumu 'MENTARI AS-SHAFA' seorang Peri Cantik yang mengisi rumah disanubariku. Kemanakah dirimu setelah kepergiannya, aku tak dapt menemukanmu lagi dalam rinainya hujan diakhir bulan Juli ini.. Ku berharap Tuhan menyampaikan firasat dari semesta hatiku padamu, dimanapun kau berada.

***

Aku yang mengurung diriku dikamar, tak bisa banyak berbicara, hanya hatiku saja yang terus merasa bersalah padanya, tapi apa salahku? Aku tidak tahu, karena terakhir kali aku bertemu dia yakni dikantin sekolah itu. Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari arah depan sembari mengucapkan "Assalamualaikum" Aku yang sedang merenung dikamarku sontak menjawab "Wa'alaikumsalam" dan langsung bergegas membukakan pintu.

Ternyata Tari datang kerumahku, aku terkejut karena dari informasi sahabatku, hari ini seharusnya dia pergi bersama Ayahnya ke Bandung, karena Pamannya akan Umroh.

"Tari, ayo masuk" ajakku padanya.
"Iya kak"
"Tari, bukankah hari ini seharusnya kamu pergi ke Bandung?"
"Dari mana kakak tahu kalo Tari seharusnya pergi ke Bandung" tanya Tari dengan tatapan curiga.

Bodohnya diriku, aku dan Tari sudah lama sekali tidak berkomunikasi, hampir 14 kali 24 jam kami tak saling mengetahui kabar dari masing-masing kami. Lalu, apa yang aku katakan? Dalam hatiku bertanya, berusaha mencari jawaban terbaik untuknya.

"Kenapa kakak diam saja? Apa ucapanku ada yang salah? Yasudah, aku tak memaksa kakak menjawab pertanyaanku. Biar aku yang menjawab pertanyaan kakak padaku. Iya Ka, tapi Tari memutuskan untuk tidak ikut ke Bandung"
"Mengapa?" tanyaku lagi
"Nanti akan aku ceritakan, sekarang maukah Kakak menemaniku?" ucap Tari dengan nada memohon padaku
"Kemana?" tandasku padanya
"Entahlah, aku pun bingung ingin kemana?"
"Yasudah, sebentar Kakak ganti baju dulu" dalam hati aku mengira Tari kembali teringat sosok almarhum, karena 2 minggu yang lalu dia masih sangat bersedih, semoga saja tidak.

***

Akhirnya sore itu ternyata rintik hujan yang sedari tadi turunpun seketika berhenti, seakan ia tahu bahwa Sang Pangeran dan Sang Putrinya akan benyambangi dunianya.

***

Aku dan Tari tiba disuatu tempat yang rindang, sejuk, kami duduk diantara sela-sela rerumputan hijau. "Ada apa Tari?" tanyaku padanya, tapi selang beberapa menit ia hanya diam termenung. Tanpa nada dan suara, hanya kicauan burung disore hari yang dapat ku dengar kala itu.

Aku dan Tari diam saja selama 3600 detik lamanya. "Tari, dua minggu yang lalu Kakak yang mendiamkanmu, sekarang kamu yang mendiamkan Kakak, apa kamu ingin balas dendam?" Sahutku kepada Tari yang sedari tadi terus saja memandangi buku diarynya.
"Tidak Kak."
"Lalu?"
"Aku hanya sedang memikirkan mengenai ucapan Kakak ketika dikantin dua minggu yang lalu? Inilah alasanku tidak ikut ke Bandung kak, aku sudah tidak tahan lagi dengan selalu mengira-ngira mengenai ucapan kakak padaku" Jawab Tari dengan menggebu-gebu
"Ucapan yang mana?"
"Jangan pura-pura lupa Kak"
"Sebentar Tari Kakak ingat-ingat dulu" pikirku sangat keras, apa yang kuucapkan padanya hingga dia memikirkannya seperti ini. Mungkinkah ucapanku jika aku menerima dia apa adanya? Ah, tidak mungkin, dia tak mungkin memikirkan ucapan konyol itu, itu hanya mimpi yang selalu kuamini.

"Kakak sudah ingat?"
"Sudah, apakah ucapan kakak tentang kakak menerimamu apa adanya?"

"Iya Kak" Tandas Tari dengan nada sedikit malu. Aku terkejut, aku tidak percaya jika ia selama dua minggu ini memikirkan ucapanku itu.
"Lalu?" tanyaku pada Tari
"Mungkin memang lebih baik aku belajar mencintai dari pada terus dicintai Kak."

Aku membalikan muka Tari supaya ia menatap mataku, lalu aku bilang "Tari, buat kakak cukup kebahagiaanmu saja, itu sudah mewakili semua rasa yang tersimpan dilubuk hati kakak." Tari meneteskan air mata, dan seketika aku menghapusnya dengan tanganku.

"Tidak kak, Tari juga menyayangi kakak, kakak selalu ada untuk Tari." Sanggah Tari
"Tapi kakak sudah terlanjur menjalin hubungan dengan orang lain?"
"Siapa kak?" Sontak Tari bertanya.
"Kak Zevan"
"Apa? Bukankah dia lebih tua darimu?"
"Iya, dia lebih tua dariku, aku telah menetapkan untuk belajar mencintainya"
"Mengapa Kakak mau belajar mencintainya?" Tanya Tari lagi padaku dengan tatapan
serius.
"Aku butuh seorang yang bisa membimbingku Tari." Jawabku dengan penuh harap, semoga ia mengerti posisiku.
"Mengapa kau mencari seorang wanita seperti itu?"

Tari membrondongku dengan bermacam-macam pertanyaan yang sesungguhnya menyulitkanku.

"Aku rapuh Tari, cintaku selalu bertepuk sebelah tangan, kau pasti tahu itu, kau jelas tahu bukan tentang kisah 510 hariku? Kau pun tahu kisah 'Cinta Segitigaku' dengan Sahabatku, lalu dulu sekali kau pun sangat mengetahui bahwa aku ditinggal pergi oleh dia yang kini sudah ada disurga sang kuasa. Aku rapuh Tari, tidak sepertimu, kau selalu bahagia dalam menjalani kehidupanmu, sampai akhirnya kekasih hatimu pergi untuk selamanya. Iya kan?"

"Ya kak, Tari tahu itu, sangat tahu, tapi kak mungkin kehadiran Tari dihidup kakak ini adalah jawabannya. Sempatkah kakak berfikiran seperti itu?"
"Jawaban, jawaban apa? Ini bukan ulangan Tari." Candaku mencairkan suasana.

"Kak sedang serius, tolong tatap mataku. Ya aku mungkin jawabannya, mungkin saja Tuhan memang mempertemukan kita sebagai sahabat masa kecil, lalu Tuhan mengizinkan Tari untuk menemani perjalanan pelik kakak. Melewati masa pelik ditinggalkan orang yang kakak cintai untuk selama-lamanya, melewati penantian 510 hari kakak, melewati konflik 'Cinta Segitiga' kakak, dan kakak juga selalu menemani Tari, melewati masa sedih Tari ketika Mama Tari pergi menghadap sang maha pemilik hidup, ketika Tari kehilangan orang yang Tari cinta, ketika Tari galau akan masalah-masalah Tari, kakak selalu ada untuk Tari, mungkin saja kakak dan begitupun Tari akan saling menemani dalam melewati masa-masa selanjutnya. Tapi bukan sebagai sahabat lagi."

Aku tertegun. Aku tidak menyangka Tari bisa mengatakan itu.

"Lalu menjadi apa?"
"Menjadi orang yang selalu ada untuk kakak, bukankah kakak juga selalu ada untuk Tari?"
"Kakak menghargai keinginanmu itu Tari. Tapi kakak tidak mau dijadikan pelampiasanmu atas kehilangan almarhum."
"Iya, Tari mengerti ketakutan kakak, tapi bukankah kakak bilang, kakak bisa menerima Tari apa adanya?"
"Sudahlah Tari, sekarang kita jalani dulu saja hubungan kita, kita bangun komitmen didalamnya, kita harus saling percaya, kita harus saling merindu saat kita berjauhan, titipkanlah rindu itu pada angin, hujan, malam, senja dan bintang jika kau tak bisa menghubungiku. Jika kita memang berjodoh, hubungan batin kita akan terjalin dengan sendirinya."
"Lalu hubungan kakak dengan Kak Zevan?"
"Kakak akan memberi keputusan padamu nanti malam. Bersediakah kau menunggu?"
"Aku bersedia kak jika hanya satu malam."
"Yup, sebaiknya sekarang kau pulang Tari, sudah jam 4, sebentar lagi waktunya berbuka puasa, bukankah rumahmu cukup jauh? Biarkan kakak mengantarkanmu sampai rumah."
"Tapi aku masih ingin disini, menikmati senja seperti kakak biasa menikmatinya."
"Jika aku telah menjadi milikmu, kau bisa menikmati senja bersamaku sesuka hatimu. Ayolah."
"Baiklah kak, Tari akan menurutinya."

Akhirnya aku mengantarkan Tari pulang. Setelah itu disepanjang perjalanan pulangku aku memikirkan tentang keputusanku malam ini, apa yang akan aku lakukan? Aku memang menyayangi Tari, tapi aku hanya ingin menjadikannya 'sahabat' saja, karena aku tak ingin mengulang kesalahan yang sama lagi. Tapi aku pun sebenarnya tidak begitu menyayangi Kak Zevan, apalagi mencintainya. Aku hanya mengagumi sosok dia yang dewasa, yang bisa membawaku kearah yang lebih positif lagi. Aku bingung. Entah apa yang akan aku tuliskan padanya nanti malam.



.. Bersambung ..

0 Comment: