Jendelaku basah diterpa tempias, hujan juga baru saja mencurah di sini. Aku masih berada di kursiku, masih memandang pada layarku. Sekarang aku mengingat komunikasi kami selama hampir lima tahun terakhir ini, e-mail. Kami berhubungan lewat tulisan.
‘Terlalu tinggi harga yang harus kubayar untuk mendengar suaramu, Ri. Begitu juga halnya dengan suaraku.’
Dia pernah menulis begitu di salah satu suratnya.
‘Aku masih secantik dulu…’
Kalimat itu juga selalu diutarakannya tiap kali aku mengajaknya menggunakan webcam. Lani tidak pernah meberiku foto yang baru, dan aku terlalu sungkan untuk meminta. Maka aku hanya bisa menduga seperti apa kecantikannya sekarang lewat surat, menyentuhnya lewat surat dan mendengar suaranya lewat surat. Terakhir kali aku melihat utuh sosoknya adalah saat melepasku di bandar udara Soekarno-Hatta. Aku sudah tak menjenguk tanah airku sejak hari itu.
Aku melanglang buana menuju ke Sydney lalu tak beberapa lama kemudian aku harus menuju Paris untuk meneruskan S2 ku di sana.
***
Kubaca lagi deretan kalimat dalam suratnya ini, entah sudah yang keberapa kali. Dan mataku akan terpaku lama pada kalimat-kalimat yang telah meremuk-redamkan hatiku.
‘Ri, aku tahu kamu tak mungkin pulang, menyesal sekali kamu tak bisa melihatku dalam penampilanku yang paling cantik. Di hari pernikahanku nanti, warnaku akan lebih cantik dari warna sayap kupu-kupu…’
Kupu-kupu. Dadaku sesak. Ya, pasti aku akan menyesal, Lani. Aku sangat menyesal mengapa tak jadi meneriakkan perasaanku padamu sore itu…
***
Aku tahu idenya kali ini gila. Menjaring kupu-kupu. Oh, ayolah Lani, kita bukan bocah SD lagi.
“Kamu yakin bisa menjaring mereka dengan itu? ”Dia menunjuk pada benda yang kubawa, cabang kering dengan kantong kresek besar yang aku ikatkan pada salah satu ujungnya.
Aku sadar, dia sudah memandangku dengan kening berkerut sejak aku melintasi taman menuju tempatnya menunggu, lebih tepatnya memandang ‘jaring’ yang kubawa. Aku memberinya cengiran, “Salahmu, ngajaknya mendadak, jadi ini yang terbaik yang bisa kubuat.Bisa kita mulai?”
Dia menunjuk pada perdu bunga aneka jenis dan warna yang tumbuh subur di satu sisi taman.
“Di sana hutannya…”
Aku tertawa, “Mari berburu!”
“Aku mau yang sayapnya paling indah dan paling lebar. Usahakan menjaring yang seperti itu, ya!” perintahnya di sampingku.
“Mereka semua punya sayap yang indah, Lani,” Jawabku.
“Pasti ada yang paling indah.”
Aku mengangkat bahuku, “Kita lihat saja.”
Kami menghabiskan sore dengan berlarian kesana kemari mengejar puluhan bahkan mungkin ratusan kupu-kupu, yang sepertinya lebih lincah dan gesit ketimbang aku dan Lani. Kami mengejar kesana kemari dengan jaring kami hingga kelelahan. Alat yang kubuat benar-benar payah, setiap kali kuayunkan untuk menjerat, kreseknya sudah lebih dulu menutup sebelum berhasil mencapai sasaran. Tak satupun makhluk bersayap indah itu yang berhasil masuk ke sana. Lani berkali-kali menumpahkan kekesalannya dengan memukul bahuku yang kuterima dengan suka cita. Tiap kali kupu-kupu incaran kami berhasil lolos dari kepungan maka tiap kali itu pula dia akan memukulku.
“Salahmu, bikin jaringnya gak benar.” Kelelahan, dia mengelesoh di rumput.
“Ini bukan hari keberuntungan kita.” Aku ikut duduk bersamanya.
“Dengan jaring tak jelas begitu, jelas ini bukan hari baik kita,” dia kembali mengejek benda buatanku.
“Ya ya ya… aku akan membuat yang lebih baik lagi lain kali.”
Dia mengangkat bahu, “Ya Tuhan, melelahkan sekali.”
Dadaku berdebar menerima kepalanya di bahuku, dia bersandar padaku sambil memejamkan matanya. Aku berdoa untuk sore yang tak segera bertemu malam, aku ingin lebih lama lagi menjadi sandarannya. Tapi waktu tak bisa diakali, gelap datang tepat pada masanya. Aku kecewa ketika dia mengangkat kepalanya dari bahuku.
“Ayo pulang!” dia segera berlari kecil menuju jalan.
Aku bangun dari rumput lalu ikut berlari kecil menyusul di belakangnya, ingin saja aku meneriakkan, Lani, aku cinta kamu!
***
0 Comment:
Posting Komentar