“Aku nggak pernah percaya cinta,” tukas seorang pria berumur dua puluh dua tahun dalam pembicaraan dengan seorang … tunggu. Mari kita putuskan nanti bagaimana kita akan memanggilnya.
“Maksudnya?” tanya seorang perempuan yang meski dengan mata separuh ngantuk masih bersedia menemani pria tadi berbincang sambil mengetik tugas-tugasnya.
“Maksudku …. hal seperti pacaran. Itu nggak ada. Oh, dan juga pernikahan.”
“Kenapa kamu bisa bilang gitu?”
“Gue ga pernah melihatnya di rumah sampai gue sebesar ini. Cukup?”
...
Pria tadi, adalah Dwimas, pemuda luar biasa, setidaknya di mata teman-temannya. Ia adalah seorang over-achiever. Pemuda yang semua orang pikir tak perlu menguras keringat untuk mengirim lamaran kerja, karena kata ‘cerah’ tertulis pada dahinya. Ah, sudahlah. Dia memang seringkali terlalu percaya diri. Satu hal, ia tak pernah percaya cinta.
Perempuan tadi, Aulia (sebagaimana semesta menyebutnya) adalah seorang gadis biasa. Tidak, sebenarnya ia tidak biasa, hanya saja ia selalu berpikir bahwa dirinya biasa. Dan ia juga tidak ‘gemuk’ sesungguhnya ia sudah terlihat cantik dengan postur tubuhnya, tapi ia selalu berkaca dan kata ‘gemuk’ terucap dari dalam hatinya. Ah, sudahlah. Perempuan memang selalu tak percaya diri. Satu hal, orang lain percaya bahwa ia luar biasa tanpa ia perlu mengubah apa-apa.
...
“Lalu … kamu sebut apa kita? Maksudnya, apa yang kita lakukan sekarang?” tanya Sinta pada Dwimas.
...
"Kita punya semacam hobi yang sama, untuk mengisi – hubungan – atau apapun kamu menyebutnya karena aku tak percaya dengan cinta; setidaknya sampai hari ini. Meski seorang perempuan dengan mata berkantung rela terus menemaniku menembus malam, mengerjakan kewajiban-kewajibanku.
Kita seringkali berbincang berdua di flat apartemenku dengan sekotak pizza. Kadang-kadang kita juga pergi ke tempat yang jauh untuk menyeruput kopi. Jauh. Agar tak ada yang mengenali kita.
Kita seringkali membicarakan hal-hal yang kita yakin tak dibicarakan oleh mereka yang menyebut dirinya sebagai: berpacaran. Tak ada pertanyaan mesra seperti “Kita mau pergi kemana?” atau “Kamu merasa aku paling cantik dengan baju apa?” dalam kamus pembicaraan kita. Kita adalah pasangan yang tak sengaja dipertemukan oleh semesta karena kita berpikir bahwa, mungkin, kita punya falsafah hidup yang sama.
Dalam setiap pembicaraan, kita lebih memilih berbicara tentang “Menurut kamu cinta itu apa?”, “Kita ada dimana jika tak pernah bertemu sedari mula?” dan sederet pertanyaan lainnya yang akan ditafsirkan mereka yang ‘berpacaran dengan normal’ sebagai keragu-raguan antara pasangan, atau mungkin, sepasang kekasih yang mengambil jurusan Ilmu Filsafat dan sedang mengerjakan skripsi bertema Filsafat Cinta atau Filsafat Hati; andai mata kuliah itu benar-benar ada.
Oh, dan aku ingat satu-satunya pertanyaan normal yang pernah keluar dari mulutmu: “Kamu pernah nonton film 500 days of Summer?” dan kalimat berikutnya tak lagi normal: “Sama seperti film itu. Gue percaya bahwa cinta bukan soal lamanya pertemuan, lamanya waktu yang dihabiskan. Bahkan ia tak pernah ada. Kamu bisa pacaran dengan siapa saja, kapan saja dengan orang yang kamu pikir kamu suka dan kemudian memutuskan menikah. Kamu hidup 10, 20, 30 tahun bersama kemudian hidup dengan menyesalinya karena kamu sadar bahwa itu bukan cinta, melainkan keterpaksaan. Entah situasi apa yang membuat mereka harus menikah: adat istiadatnya, orang tuanya, atau bahkan desas-desus tetangga. Pada akhirnya cinta yang sejati atau pernikahan tak perlu dilembagakan. Ia hanya akan mengeruhkan konflik di antara banyak pasangan”
Cakap Dwimas dengan panjang lebar menyampaikan seluruh isi hatinya pada Sinta. Sinta hanya terdiam, ia tak habis pikir, lelaki yang selama ini ia cintai ternyata tak percaya akan kata bernama "CINTA".
...
Tunggu, mari kita ingat kembali bagaimana kita bertemu.
Kamu, pria workaholic yang bahkan tak punya waktu untuk mengurus masalah cinta, ternyata tidak sedangkal itu. Kamu selalu cerita tentang bagaimana ayahmu meninggalkan kamu dan ibumu sejak umurmu masih enam tahun. Mungkin itu yang membuatmu tak percaya akan cinta dan pernikahan.
Aku? Semoga kamu ingat bagaimana dahulu kamu tak sengaja melihatku menangis karena aku putus dengan pria brengsek yang, setelah tiga tahun waktu dahulu kuhabiskan dengan pria itu, pergi begitu saja dari hidupku. Bahkan, esok hari, ia sudah akan menikahi perempuan lain. Pria yang begitu egois. Aku akhirnya sadar betapa tiga tahun kuhabiskan dengan penderitaan, aku bahkan tak punya waktu untuk berteman. Ya. Dalam kondisi demikian kita dipertemukan. Dua orang yang sama-sama tak percaya cinta dan terus-terusan ngobrol karena merasa punya falsafah hidup yang sama.
Setelahnya, kita pikir kita sama-sama tak akan pernah percaya akan cinta. Itulah sebabnya mengapa kita saat ini berada dalam hubungan ‘entah apa’ ini.
Tungkas Sinta dengan penuh amarah.
...
Sayang,
Sepertinya aku ada dalam kondisi yang tak akan kamu percayai. Waktu berjalan dan aku mulai kalah. Pada detik ini aku percaya ada alasan kenapa dengan kantung mataku yang besar ini aku ingin menemanimu berbincang sambil begadang mengerjakan tugas-tugasmu.
“Cinta”?
...
“Lalu … kamu sebut apa kita? Maksudnya … apa yang kita lakukan sekarang?” Tanya Sinta sekali lagi.
“Nyaman. Entah sampai kapan. Tapi, ini bukan cinta. Aku percaya ini akan berakhir. Kita akan berpisah ketika kita mulai saling menyakiti,” tandas Dwimas setelah diam beberapa menit hanya untuk menjawab pertanyaan itu.
“Seperti pria brengsek itu?” sahut Sinta
"Tidak!" balas Dwimas.
“Aku tajut seperti Papa dan Mama-ku.” tambah Dwimas.
...
Ya.
Kita putuskan untuk merasa nyaman sampai kita tak lagi nyaman kemudian kita salahkan cinta. Bukan begitu, manusia?
Apa yang berani dimulai tapi tak mau diselesaikan tak pernah pantas disebut sebagai cinta. Ia adalah keegoisan yang mengenakan topeng. Sayangnya, kita terlanjur percaya dan mengkategorisasikan semua yang kita lihat pernah mesra sebagai cinta.
Semoga kita kembali punya falsafah hidup yang sama.
...
Sungguh aku tak mengerti dengan percakapan mereka ini, aku yang sedang menanti Tari di kejauhan ini saja tetep mempercayai arti cinta, karena bagiku hanya cintalah yang mampu menguatkan pondasi dunia. Tanpa cinta dunia runtuh. Bagiku, mungkin temanku Dwimas hanya trauma dengan masa kecilnya. Sobat, aku akan berusaha menghilangkan traumamu itu, kasian Sinta, hubungan kalian di mataku sebagai sahabat kalian berdua sungguhlah berharga. Semoga esok semuanya akan kembali baik-baik saja.
"Untuk kita yang sampai hari ini tak percaya cinta sungguh-sungguh ada." ~ Dwimas Status
0 Comment:
Posting Komentar