Kepada, seseorang yang fotonya pernah ada di setiap tempat spesial yang aku siapkan.
Well..
Mungkin ini adalah surat fiksi ke-seribu kali yang aku tulis namun tak akan pernah kau baca. Tak apa, ia memang tercipta seperti itu, atau lebih tepatnya seperti kisah kita kemarin mungkin? Hahahaha maaf maaf, aku tak bermaksud membuatmu tersinggung lagi.
Oke baiklah,
Surat ini aku tulis bukan tanpa alasan juga, melainkan ada beberapa hal yang menggerakkan tanganku untuk kembali menuliskan namamu lagi di sini, ah tidak, aku tidak mungkin menuliskan namamu di sini.
Kau.. Kau..
Namamu terlalu indah sekaligus terlalu menyakitkan untuk ditulis di sini.
Malam ini aku akan menceritakan apa maksud dari setiap kata “Aku Tak Apa” yang kau dapatkan ketika kau bertanya kepadaku setiap aku terdiam. Aku bukan bermaksud menjadi seseorang yang egois dan kekanak-kanakan karena memilih untuk tidak berbicara tentang perasan yang aku rasa, hanya saja aku tahu jika aku bicara, itu mungkin akan mengganggu kebahagiaanmu sekarang ini.
Tak enak rasanya aku merusak kebahagiaanmu yang telah dibangun susah payah oleh seseorang (namun tetap tidak sehebat aku) yang kau bisa banggakan seperti dia. Karena dulu tanpa kau tahu, aku juga benci ketika kau disampingku namun kau tetap membicarakan orang lain.
Ah, aku jadi kembali membicarakan masa lalu.
Maaf.. maaf..
Dari sekian banyak kerikil, dari sekian banyak anak tangga, dari sekian banyak persimpangan, dari sekian banyaknya hal-hal ini itu di masa lalu, pada akhirnya aku sampai kepadamu kemarin. Aku kira aku akan berhenti cukup lama, namun ternyata tidak. Aku kira kau lebih dari sekedar tempat peristirahatan, namun ternyata kau adalah persimpangan yang lainnya.
Namun aku akan jujur.
Dari sekian banyak masa lalu yang telah aku lalui, entah kenapa kau yang paling melekat. Rasa-rasanya setiap aku menemui orang baru dan menunjukkannya kepada temanku, mereka akan berkata bahwa orang baru itu mirip kau.
Entah itu matanya, hidungnya, bibirnya, badannya, atau bahkan gelak tawanya. Awalnya aku merasa ini hanya kebetulan, hingga pada akhirnya tiga temanku mengatakan kepadaku bahwa di setiap persimpangan yang aku lalui, semuanya selalu mirip kau.
WOW!
Jadi, selama ini di alam bawah sadarku, aku mencari penggantimu namun sebenarnya aku mencari kau di dalam diri orang lain? Sungguh memalukan. Aku tak pernah merasa sebegitu bodohnya seperti ini. Kau adalah orang pertama yang mampu membuatku seperti ini.
Tapi tenang saja, aku pun pada awalnya tak percaya. Mungkin ini hanya khayalku saja. Namun, semakin aku mencoba untuk mengelak dari rasa yang aku buat sendiri ini, tanpa sadar aku semakin mencari kau.
Iya, kau.
"Aku pandai menasehati orang lain. Mencaci-maki setiap mereka yang bodoh karena bertahan setelah ditinggal pergi. Namun sekarang aku adalah mereka. Aku mencaci-maki diriku sendiri. Ah! rasa-rasanya aku semakin membenci diriku sendiri jika menceritakan semua hal ini lagi. Maka maukah mulai sekarang kau mengerti apabila aku menjawab “Aku Tak Apa” ketika kau tanya bagaimana kabarku?"
Karena selain aku yang selalu tanpa sadar mencarimu di setiap orang yang aku temu, kau juga tahu bahwa kabarku pernah jauh lebih baik; dan itu di saat aku masih bersamamu.
Aku pun sama sepertimu, tak ingin kita jauh, tak ingin kita seperti orang asing lagi. Tapi jujur saja aku benci menjadi orang pintar yang sudah terlanjur memenuhi otakku dengan banyaknya pengetahuan bahwa sekarang kau tak lagi mencintaiku— dan yang lebih brengseknya lagi, di sini aku masih.
Aku rindu menjadi orang bodoh. Yang berani mencintaimu secara luar biasa ketika kita pergi berkencan untuk kedua atau ketiga kalinya. Aku rindu menjadi orang bodoh yang mendengarkanmu menangis setelah dilukai orang lain. Aku rindu menjadi orang bodoh yang berpura-pura tak apa ketika telingaku dijejali tawamu menceritakan orang lain.
Aku rindu menjadi bodoh!
Aku rindu kam… ah maaf salah, aku rindu menjadi bodoh!
Selain itu, di setiap kalimat “Aku Tak Apa” yang aku ucapkan kepadamu, di sana juga tersimpan sebuah rahasia lain. Rahasia perihal hari-hariku yang tentunya sudah tanpamu. Baik buruknya aku ingin banyak bercerita seperti dulu, kau mendengarkan, sesekali tertawa karena aku menyelipkan kata-kata manis, atau terbahak-bahak ketika aku menyelipkan hinaan kecil perihal orang yang aku temui hari itu.
Namun, aku memilih untuk tidak bercerita lagi.
Bukan karena apa-apa, namun karena aku tak ingin mengganggu apa yang sedang kau bangun sekarang bersama orang lain itu. Aku sebenarnya bisa saja menjadi orang brengsek yang datang, masuk ke kehidupan kalian, membuatmu kembali jatuh cinta kepadaku, lalu kemudian aku pergi begitu saja. Ah itu perkara mudah untukku. Bahkan hanya lewat tulisan saja aku mampu.
Tapi kau tahu aku.
Aku yang sebenar-benarnya aku pasti tidak akan pernah melakukan itu.
Maka nanti di setiap kalimat “Aku Tak Apa” yang aku ucapkan, aku harap kau mulai mengerti bahwa ada banyak pengorbanan yang aku simpan di dalamnya. Pengobanan perihal aku, kau, kita, masa lalu, dan masa depan.
Terimakasih.
Akhirnya, surat ini aku tutup tepat ketika lagu Michael Buble - You Don’t Know Me yang sedang mengalun di Hp-ku ini menyentuh detik-detik akhir. Terima kasih sudah pernah datang. Terima kasih sudah pernah membuatku jatuh cinta. Aku pernah bahagia bertemu kau, dan aku tak pernah menyesal. Kita adalah sebuah kebetulan yang entah bagaimana caranya bisa menjadi bahagia. Sesuatu yang tak pernah disangka-sangka sebelumnya, namun tetap bisa bertahan meskipun tak lama.
Aku tak bermaksud memenangkan kau kembali.
Aku sudah cukup.
Saatnya aku mulai kembali berlari setelah beristirahat cukup panjang.
Kelak apabila kau tak sengaja berkunjung dan membaca surat yang diam-diam aku tulis untukmu ini lalu kau merasa bahwa aku belum benar-benar melupakanmu, Well..
Seperti lagu yang sedang aku dengarkan tadi,
Sorry,
You Don’t Know Me.
Bantu aku melupakanmu. Caranya mudah, pergi dan jangan kembali lagi.
Love you..
0 Comment:
Posting Komentar