Chrome Pointer

Rabu, 01 Juli 2015

AKU DAN TARI JILID VI : "Sederhanakan Saja"


Setelah Tari pindah ke Surabaya, aku dikirimi alamat rumahnya. Sebenarnya tari berharap kapan-kapan aku bisa berkunjung menemuinya.

Kami berkomunikasi cukup intens setelah seminggu kami berpisah, tetapi setelah itu kami hanya berkirim surat satu sama lain. Dan berikut surat yang ku berikan ke Tari ketika di Bandara dan balasan surat dari Tari

Ari Ramdhani

Ada yang mesti kita sederhanakan dalam semua perbincangan kita. Perihal waktu dengan semua ceritanya. Ingin sekali suatu pagi kuajak kau menyeruput kopi diantara dinginnya kaki pegunungan tempatku dibesarkan, entah apa, lalu kita mengurai semua kerumitan yang tersaji dibaki.

Apa sebenarnya yang menjadi percekcokan kita saat masing-masing urat nadi begitu jelas. Sedang segala menjadi sunyi saat mulut kita mengunyah logika.

Kau yang karib, catatkanlah apa yang sering terlupa tak terbaca. Dan sederhanakanlah x dan y dengan rumus yang kau cipta. Lalu aku juga akan menyoal semua bahasan tugas kita.

Percakapan kita kadang bisa menjadi siang yang panas dan kadang bisa pula tiba-tiba sedingin malam. Namun tak kutemukan remang dimatamu. Matamu terlalu lugu.

Tak ada kata yang bisa menggambarkan rasa, bahkan sastra paling sepi sekalipun, maka terima sajalah apa yang kusaji ketika pagi merekah diantara bilangan yang terus kita kalikan.

Jakarta, 23 Januari 2013


Mentari As-Shafa

Memang ada yang mesti kita sederhanakan dalam semua perbincangan kita. Perihal alam, perihal manusia, perihal kehidupan. Perihal ketiganya yang kadang saling beirisan dalam semesta himpunan logika.

Ah, apalah guna secangkir kopi di pagi yang dingin jika kepala kita sudah mendidih dalam entah berapa celcius? Maka kita hanya perlu diam sejenak, memikir jiwa memahami diri. Seperti kata orang : gnothi seauton. Karena kerumitan bukan pada baki, tapi mengendap keras dalam hati.

Hingga suatu saat, entah kapan, hati yang terlanjur mengeras oleh kerumitan itu akan terserpih menyisa nyeri. Saat itu, kau duduk seponggah langit, seolah kaulah hakim maha adil sedang menjatuhkan vonisnya. Saat itu pula aku berdiri tegap seakan dewa kebenaran menantang penjahat maha zalim. Dan kita pun menjadi antagonis satu sama lain.

Lantas apa yang kita pertarungkan? Tak ada. Kecuali secuil remah kebanggaan diri. Mata, telinga, panca indra terbenam jelaga kesombongan. Logika, rasa, akal dan hati terbenam telaga kedustaan.

Maka sunyilah yang akan menghapus luka.
Maka sepilah yang akan memenuhi udara dalam dada.
Maka senyaplah yang akan memantik cahaya.

Kau yang karib, tak perlulah memenuhi kepala dengan catatan, cukup bacalah.. bacalah alam semesta, manusia dan kehidupan. Bacalah dengan menyebut nama Tuhahmu yang menciptakan, maka tak ada panas yang akan melelehkan, tak ada pula dingin yang akan membekukan. Yang ada hanya ketaatan dan kerinduan pada air-Nya.

Dan sungguh, memang tak ada sastra yang mampu menuliskan kerinduan itu. Tak ada pula lukisan yang menggambarkan keharuan itu. Dan tentu tak ada bilangan yang mampu menghitung kenikmatan itu. Maka nikmat dari Tuhanmu yang manakah yang mampu engkau dustakan?

Sederhanakan saja semua dalam sembah setulus jiwa.

Surabaya, 9 Februari 2013

0 Comment: