Hingga detik ini, masih kutumpuk semua beban dalam lubuk hatiku yang kian dangkal.
Telah kulucuti semua ego, telah kubuang semua perasaan, telah kutinggalkan emosi diri, namun nyatanya tak membuat diri ini jadi lebih baik, justru makin membelenggu ke dalam telaga kepahitan yang makin menghitam.
Diam, sendiri menatap angin, meresapi tiap jengkal perasaan yang terus mengaduk, kecewa, marah, letih, semuanya berpadu membuat duniaku terbengkalai, jasadku pun ikut terpuruk menatap detak waktu.
Dan akhirnya, aku kembali di ujung kesimpulan mengenai semua ini.
Kita adalah kenangan, yang kini harus kembali kutumpuk dalam ruang kecil yang makin menyempit, mengikatnya dengan simpul luka.
Terbiasa, aku berharap aku bisa terbiasa.
Mengerti, aku berharap aku bisa mengerti.
Mengikhlaskan, tak ada lagi yang bisa kulakukan selain ikhlas.
Jalan ini telah kita tentukan masing-masing, senja dengan mendung dan hujannya, pagi dengan embun kabut dan merahnya. Lalu aku? Biarlah aku tetap menjadi malam bersama kepekatan juga keheningannya.
Sebenarnya, aku lebih memilih senja daripada malam. Layaknya aku lebih suka mencipta kenang ketimbang mulai merentas harapan baru.
Seperti pula lebih puasnya aku duduk menghadap ke arah barat disore hari, menyaksikan matahari tenggelam di cakrawala lalu dalam diam aku menjalin cerita sendiri tanpa kata pada merah dan jingganya langit senja.
Sebenarnya, bagiku dua puluh empat jam itu dihitung sejak senja. Dari tenggelamnya matahari lalu muncul bayangan bulan di malam yang mulai merambat. Bukan dari munculnya matahari melerai tiap kabut di puncak pegunungan.
Seperti halnya aku akan secara riang meletakkan semua kenangan dalam sore yang memerah. Dan aku yakin kalian juga sama, karena sejak aku mengenal senja, aku bersahabat dengannya, senja milik aku, milik kau, dan milik kita. Dan tak akan berubah.
Kita sudah tahu bukan, melupakan dan menghindari kenangan tak akan mempan membuat rasa sakit sirna. Kita pun sepakat membuang segalanya tak menjadikan kita terbebas dari malam-malam resah dan tarikan nafas tertahan serta isakan.
Dan tahukah kalian, kesimpulan yang dipungut dari sebuah luapan emosi tak akan pernah bijak, meski sering kali kita selalu lengah akan hal itu.
Diam...
Merajam luka...
Menahan isakan...
Lalu mengurai semua kerumitan hingga menemukan ujung kesimpulan...
Bertahanlah, semampu yang kita bisa. Beri jeda di dalamnya. Mungkin inilah masa yang pas untuk memahami senja lewat masing-masing jendela kamar kita.
Waktu akan menyembuhkan. Yakin itu.
Hingga saat itu tiba marilah kita berdamai dengan kenangan. Kita kenangan. Dan bukan dengan mengurut jari pada luka, tapi berbesar hati menerima ceritanya.
Berdamai dengan luka bukan berarti melupakan, tapi hanya ingin sekedar bahagia walau sendirian...
0 Comment:
Posting Komentar