Pagi ini hujan deras telah turun sejak tadi subuh. Hujan ini membuat hatiku sedikit lega, setidaknya aku memiliki alasan untuk tidak menemui Tari hari ini. Tapi sampai kapankah aku berdiam seperti ini? I must make a decision as soon as possible. I'm confused. She wanna be angry if I don't give her a good decision and I won't my decision later will hurt her heart because my heart isn't totally with her. Ah, I'm very confused.
Hari ini juga sebenarnya temanku Zul memaksaku untuk mengajarinya soal fisika yang tempo hari diberikan Pak Badru kepada kami. Katanya dia tetap akan datang sekalipun hujan seperti ini. Sungguh tekad yang begitu keras untuk mencari ilmu. Tidak seperti diriku. Aku hanya untuk memberikan keputusanpun saja tidak berani berkorban, apalagi sampai hujan-hujanan. Intinya mungkin aku hanyalah belum yakin pada jawabanku saja makanya aku tak berani untuk pergi.
Tanpa terasa, sudah 3600 detik aku menatap kaca kamarku. Kacanya tak lagi bisa membuatku melihat keadaan diluar sana karena sudah berembun. Aku kala itu hanya bisa menuliskan kebimbanganku dalam secercah embun yang menempel dikaca kala itu.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang membuatku langsung menggelengkan kepala, "ternyata tekad si Zul besar juga, jelas saja dia kan murid paling pintar dikelas", sudahlah. Aku pun beranjak dari lamunanku dan bergegas membukakan pintu.
Ketika ku buka pintu, tanpa kuduga, seorang yang berdiri didepanku itu bukanlah Zul, melainkan Tari. Saat itu aku langsung mengajaknya masuk karena aku tak tega melihatnya masak kuyub. Lalu aku mengambilkan anduk untuknya dan membuatkan secangkir coklat panas untuknya.
Saat itu dirumah, Kak Putri sudah berangkat kerja, begitu juga Papa, Mama sedang tidur karena kurang enak badan dan Noah adikku sedang bermain diruang tengah.
Aku dan juga Tari duduk diruang tengah, bersama Noah adikku yang sedang sibuk dengan mainannya.
"Tari, ada apa kau hujan-hujan kesini? Memang tak ada waktu lagi?" tanyaku padanya.
Dia hanya diam, tak lama kemudian dia menjawab, "iya ka, Tari mau ngasih kabar ke Kak Ari, kalo Tari.." seketika dia diam dan berhenti berbicara.
"Kalo Tari kenapa?" tanyaku dengan penasaran. "Tari, Tari harus pindah Kak, hari ini juga. Mama Tari pindah dinas ke Surabaya", jawabnya halus. "Apa?", kagetku mendengar penuturannya. "Tapi kenapa mendadak seperti ini Tari, mengapa kau tak memberi tahu Kakak jauh-jauh hari?", "Maaf Kak, aku tak mau Kakak khawatir" jawabnya pelan.
Seketika aku bingung, lalu apa yang harus aku lakukan. Apakah aku harus memberikan jawabanku sekarang? Tapi, kalaupun aku memberikannya. Ah, aku bingung!
Saat aku merasakan puncak kebingungan itu. Aku langsung teringat pada surat yang telah aku tuliskan malam tadi. Paling tidak semua perasaanku padanya sudah terwakili oleh surat itu.
Aku pamit sebentar ke kamar untuk mengambil surat itu kepada Tari. Setelah aku memegangnya, aku bertanya, "Lalu, jam berapa Tari?", "Aku dapet penerbangan siang Kak, sekitar setengah 1". Aku langsung melirik jam tanganku, jam tangan yang ku kenakan ini juga pemberian Tari, rasanya banyak sekali yang merupakan pemberian Tari dikamarku. Aku melihat bahwa jam menunjukan pukul 12 kurang 15 menit. Setidaknya, masih ada waktu untukku, untuk mengantarkan Tari ke Bandara.
Lalu, tanpa sepengetahuan Mama, aku mengambil kunci mobil dan memakainya untuk mengantarkan Tari ke Bandara.
"Iya Tari, tenang saja. Ohya, Kakak punya sesuatu untukmu", lalu aku mengeluarkan sebuah CD dan surat untuknya, "ini untukmu Tari".
"Tari, cepat, sudah tak lama lagi" sahut Mama Tari dari pintu pemeriksaan. "Iya ma" jawab Tari singkat. "Kak, selamat tinggal, jangan lupa hubungin Tari ya Kak" jawab Tari sambil berlari menuju Mama nya.
Aku hanya tertegun sambil melambaikan tangan. Aku tak tahu apa yang sesungguhnya ada difikiranku saat itu. Terlalu complicated.
Bersambung
0 Comment:
Posting Komentar